Kisah Pengorbanan

Betapa cerdasnya seorang pemuda Babilonia yang hidupnya terasing dan ‘terkucilkan’ dari kebiasaan kaumnya. Sebab, dia berpikir lebih mendalam dan lebih maju daripada mereka. Ketika dalam kesendirian, dia menemukan kesadaran tentang hakikat dirinya, dan betapa sesat kondisi kaumnya. Dia pun mengkritisi kaumnya, “Pantaskah kalian jadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan? Sesungguhnya aku melihat kalian dalam kesesatan sejati.” Demikianlah dia termasuk orang yang diberi ‘penglihatan’ akan keagungan Tuhannya. Dan demikianlah dia menjadi seorang yang penuh keyakinan (QS. 6: 74-75).
Juga ketika dia ‘mencari’ Tuhannya, segera saja ditolaknya segala benda langit yang terbenam, apakah itu bintang, bulan, atau matahari. Maka dia berkata, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb Pencipta langit dan bumi, cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukan termasuk orang yang mempersekutukan-Nya.” (QS. 6: 76-79).

Adakah di zaman kini sosok sepertinya, atau setidaknya yang belajar darinya – salah seorang dari dua Khalilullah di antara manusia – Ibrahim AS? Ketika ada seorang penguasa yang seenaknya saja ‘membunuhi’ rakyatnya – secara jelas maupun terselubung – adakah penguasa itu berlagak menjadi tuhan, layaknya Namrudz sang raja Babilon yang ditantang oleh Ibrahim untuk bisa menghidupkan dan mematikan manusia, lalu dipanggilnya dua orang tawanan, dia bunuh yang satu dan dia biarkan yang lainnya hidup? Namun ketika ditantang menerbitkan matahari dari arah terbenamnya, dia terdiam seribu bahasa (QS. 2: 258).

Ibrahim AS bukanlah kebanyakan pengkritis era kini yang suka melempar kritik dan kemudian lari tak mau terima resiko akibat kritiknya itu – melontarkan kritik memang lebih mudah daripada dikritik. Tapi Ibrahim, dia tetap tegar mengkritisi orang-orang zalim dan perilaku menyimpang kaumnya. Walaupun setelah itu dia dilempar ke dalam api yang menyala-nyala, tak sedikit pun dia gentar. Dan kemudian dia pun harus keluar dari negerinya. Maka perginya ke arah barat hingga menginjakkan kaki di negeri Fir’aun – adalah tetap dalam rangka pengorbanan kepada Tuhannya (QS. 37: 95-99).

Pengorbanan macam apa dari seorang istri yang merekomendasi istri untuk suaminya? Dan ketika dikaruniai Isma’il AS sebagai bukti bahwa Allah mendengar doanya – dan Allah Maha Mendengar – maka pengorbanan setelah itu lebih besar lagi. Pengorbanan macam apa dari seorang suami dan ayah, yang mencintai keluarganya, dengan meninggalkan mereka di lembah tandus tiada bertanam-tanaman – di sisi rumah Allah yang dihormati? Untuk apakah semua itu? Supaya mereka mendirikan shalat, dan supaya dijadikan hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan supaya Tuhan memberi mereka rezeki di padang gersang itu dengan buah-buahan supaya mereka bersyukur (QS. 14: 37).

Siapakah yang lebih didengarnya, ketika Tuhan mewahyukan kepadanya lewat mimpi agar dia menyembelih anaknya, Tuhan ataukah syaitan penggoda yang diikutinya? Nyatanya, dia tetap bersungguh hati hendak mengorbankan sang anak di pangkuannya sendiri. Itu pun dilakukan tanpa harus memaksa sang anak yang mulai beranjak dewasa, sebab sang anak juga sama memiliki kesungguhan dan kesabaran hati. Belakangan, kisah pengorbanan itu menjadi salah satu ritual umat pengikut millah-nya.

Itulah sosok kekasih Allah. Dia telah menjadikan dirinya seorang yang cerdas. Ketika melihat diri dan alam semesta, dan memperhatikan kelakuan kaumnya, dia tidak melihat itu sebagai sesuatu yang wujud semata. Dia melihat hakikat di balik wujud, rahasia di balik materi, atau realitas di balik fenomena, bahwa dia harus mendekatkan diri kepada Allah.

Maka segala pengorbanan bukanlah untuk dirinya, istri, anak, keturunan, atau untuk kaumnya. Pengorbanan itu hanyalah untuk Allah. Pantaslah jika dia dijuluki Khalilullah – di samping Muhammad SAW – sebab hatinya telah penuh terisi hanya dengan nama Tuhannya. Namun pengorbanan yang dilakukan untuk Tuhannya itulah yang membawa kebaikan bagi dirinya, keluarganya, dan juga pengikutnya. Maka perhatikanlah bagaimana namanya selalu kita sebut di dalam shalat setelah kita bershalawat atas Nabi akhir zaman.

Muhammad SAW adalah juga seorang yang cerdas. Dan adalah dia seorang yang suka menyendiri berpikir tentang keadaan kaumnya, ber-tahannuts di ketinggian Gua Hira melihat fenomena kerusakan masyarakatnya di bawah sana. Dan seperti Ibrahim AS yang ‘mencari’ Tuhan, pada saat yang ditentukan turunlah wahyu kepadanya “Iqra’ bismi Rabbikalladzii khalaq...”, bukan hanya ke dalam pikirannya melainkan jauh ke dalam hatinya. Setelah itu adalah tanda tanya besar yang membentang, membuatnya ‘gelisah’ beberapa waktu lamanya. Namun Tuhannya tak membiarkan keadaan itu.
Ketika turun ayat-ayat berikutnya, hadirlah ketenangan pada jiwanya, namun dia tak lantas bertenang-tenang diri seolah tak ada apa-apa. “Hai orang yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan!” (QS. 74: 1-2). “Hai orang yang berselimut, bangunlah di malam hari untuk shalat, kecuali sedikit daripadanya!” (QS. 73: 1-2). Maka seolah-olah perkataan itu – seperti dilukiskan oleh Asy-Syahid Sayyid Quthb – adalah seperti ini:

“Ini adalah seruan dari langit, suara Tuhan Yang Mahaagung lagi Mahatinggi ... Bangunlah ... Bangunlah untuk menyongsong urusan besar yang sedang menantimu dan tugas berat yang akan dibebankan kepadamu. Bangunlah untuk berjuang dan berusaha, berkiprah dan bersusah payah. Bangunlah, waktu tidur dan istirahat telah berlalu ... Bangunlah dan bersiapsiagalah menyongsong urusan ini ...”

Kini ayat-ayat itu seutuhnya berada dekat di samping kita. Dan semua juga diturunkan bagi kita. Ketika setiap kita mulai berpikir tentang diri, mencari hakikat, rahasia, atau realitas tertinggi yang menjadi pencarian manusia selama ini, maka Allah Sang Pencipta menurunkan sesuatu untuk dibaca, agar kita kembali pada-Nya. Sudahkah kita membacanya dengan bacaan yang benar sebagai bukti keimanan kita? (QS. 2: 121). Ataukah kita sudah membacanya tapi belum juga tercerdaskan dan tiada merasakan kelezatan darinya? Betapa banyak orang-orang membacanya tanpa kelezatan iman dan pengorbanan yang terlahir dari proses pembacaan itu.
Adakah kita menangis saat membaca atau mendengarkannya. Bukan menangis karena liukan lagunya yang syahdu, tapi karena kita menghayati kandungan maknanya? Ataukah kita hanya menangis saat menyimak lagu-lagu sedih, atau menonton film dan sinetron cinta yang mengharukan? Alangkah jauhnya kita dari Al-Qur’an, alangkah kurangnya kecerdasan dan pengorbanan di dalam jiwa kita.
Jika kita memahami dan menyadari betul, bahwa hidup ini hanya sekali, nyawa kita hanya satu dan tak ada umur cadangan, maka apakah akan kita sia-siakan hidup yang singkat ini dan mempersingkatnya lagi dengan tujuan yang singkat dan kerdil?

Seorang yang cerdas selalu merindukan dan mencari enlightenment moment (saat-saat pencerahan) dalam hidupnya. Ketika pencerahan itu telah hadir di dalam hatinya, jadilah dia manusia cahaya. Dia tak lagi hidup untuk dirinya sendiri. Dia tak lagi hidup hanya untuk keluarganya, masyarakatnya, atau nilai-nilai bumi yang selalu membelenggu. Dia hidup untuk memperjuangkan nilai abadi yang sangat jauh dari realitas dunia yang ditemuinya. Jadilah dia seperti seseorang yang memegang bara api yang tak boleh dilepasnya, tapi itu harus. Maka dia pun berkorban untuk menegakkan nilai abadi itu walaupun seringkali dunia ini tak berpihak kepadanya. Tapi apakah yang bisa diperbuat oleh dunia terhadap dirinya? Tidak ada. Sebab, telah dia tambatkan semua harapannya kepada sumber segala harapan: Allah. []



By Badroe with No comments

0 komentar:

 
google.com, pub-0086328622447233, DIRECT, f08c47fec0942fa0