Ini Dia Agenda Harian Untuk Menghapal Al Quran

Agenda Hitungan Harian Menghafal Al-Qur'an berdasarkan Ayat dan Kemampuan
Sebuah Renungan dan Pelajaran
‘’Penyandaran Amaliyah Yaumiyah yang akan terus berlangsung
dalam menapaki perjalanan panjang menuju Jannah Alloh Ta’ala‘’,
Jika Anda Menghafal Al-Qur'anul Karim dalam 1 hari (1 ayat saja), Anda akan menghafal-nya secara keseluruhan dalam rentang waktu 17 tahun, 7 bulan, 9 hari.
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 2 ayat, Anda akan menghafal-nya selama 8 tahun, 9 bulan, 18 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 3 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 5 tahun, 10 bulan, 13 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 4 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 4 tahun, 4 bulan, 24 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 5 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 3 tahun, 6 bulan, 7 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 6 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 2 tahun, 11 bulan, 4 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 7 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 2 tahun, 6 bulan, 3 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 8 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 2 tahun, 2 bulan, 12 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 9 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 1 tahun, 11 bulan, 12 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 10 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 1 tahun, 9 bulan, 3 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 11 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 1 tahun, 7 bulan, 6 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 12 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 1 tahun, 5 bulan, 15 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 13 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 1 tahun, 4 bulan, 6 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 14 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 1 tahun, 3 bulan, 0 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 15 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 1 tahun, 2 bulan, 1 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 16 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 1 tahun, 1 bulan, 6 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 17 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 1 tahun, 10 bulan, 0 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 18 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 11 bulan, 19 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 19 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 11 bulan, 1 hari
Jika Anda Menghafal Al-Qur'an dalam satu hari 20 ayat, Anda akan menghafal-nya selama, 10 bulan, 16 hari
Jika anda dalam 1 hari menghafal satu muka (1 halaman), Anda akan menghafal-nya selama 1 tahun, 8 bulan, 12 Hari
Jika Anda dalam 1 hari menghafal satu lembar (2 halaman), Anda akan menghafal-nya selama 10 bulan 6 hari.
Membaca Al-Qur’an Akan menguntung selamanya, Investasi Akhirat ^^ !
Jangan sampai engkau lupa bahwa setiap huruf yang engkau ucapkan dari Al-Qur'an memiliki kebaikan yang berlipat, 1 huruf 1 kebaikan, 1 kebaikan digandakan menjadi 10 kebaikan, Dalam Basmallah saja kalau engkau membacanya maka terdapat 190 kebaikan dari 19 huruf yang terkandung didalamnya, lantas bagaimana dalam membaca, mengulang-ulang dan menghafalkan Al-Qur'an ?!
Semoga Alloh memberikan limpahan barokah dan kebaikan bagi antum semua.. Allohumma Aamin !
Mampukah Anda Menghafal??!
Menghafal Al-Qur'an dalam 1000 Hari, Mampukah ?! Insya'a Alloh..
Landaskan pada dasar fikiran anda bahwa anda mampu/bisa menghafal seluruh isi al-Qur’an, sesuai jarak waktu yang ditentukan dan bebas memilih :
1. Tempat, Dimana saja anda menghafal yang penting nyaman dan tidak mengganggu konsentrasi menghafal
2. Waktu, Anda berkuasa terhadap jam-jam, menit dan detik yang akan anda lalui, maka dari itu manfaatkanlah waktu-mu !
3. Juz, Pilihlah juz-juz dalam Al-Qur’an yang anda kira mudah untuk dihafal !
Catatan Pertama :
Tentukan Mushaf yang akan anda gunakan untuk menghafal, kami anjurkan untuk memilih Mushaf Khusus semisal Al-Qur'an yang didalamnya terdapat 15 baris perhalaman, Karena :
1. Dimulai dari awal ayat dan berakhir diakhir ayat dalam 1 halaman, InsyaAlloh akan membantu-mu untuk Fokus dalam menghafal.
2. Karena setiap 20 halaman dalam Al-Qur'an tersebut sama dengan 1 Juz sempurna, kecuali Juz Amma (Juz 30) Inilah yang cocok sebagai jalan/cara menghafal.
3. yang dimaksud ialah 1 Halaman, I muka (saja)
Cara menghafal Al-Qur'an :
1. Hendaknya Anda Menghafal dalam 1 hari 1 Halaman saja.
2. Setelah menghafal 5 halaman, gunakan hari ke enam untuk Muroja'ah (Mengulang) hafalan, terus-lah seperti demikian sampai selesei 1 juz.
3. Ketika anda selesei 1 Juz sempurna, Khususkan 4 hari untuk mengulang Hafalan yang telah dihafal.
4. Setelah anda hafal 5 Juz, Khususkan 10 hari untuk mengulang hafalan 5 Juz yang telah dihafal.
5. Disaat hafalan anda sudah 10 Juz, Khususkan 15 hari untuk mengulang hafalan yang telah dihafal.
6. Disaat hafalan anda mencapai 15 Juz, Khususkan 25 hari untuk mengulang hafalan yang telah dihafal.
7. Disaat hafalan anda mencapai 20 Juz, Khususkan 30 Hari untu mengulang hafalan yang telah dihafal.
8. Disaat Hafalan anda mencapai 25 Juz, Khususkan 35 Hari untuk Mengulang Hafalan Keseluruhan dari Juz-Juz yang telah di Hafal.
9. Disaat anda menyempurnakan Hafalan Al-Qur'an Seluruhnya, Khususkan 45 Hari Untuk Mengulang Hafalan Seluruhnya.
10. Dengan Konsep ini, Anda akan Mampu menghafal Al-Qur'an 1000 Hari -Insyaa'Alloh-

Beberapa Anjuran dalam Menghafal.

1. Anda memiliki kebebasan memilih juz yang hendak anda hafal, bebas memilih tempat dan waktu.
2. Sibukkanlah waktu-waktu luang anda untuk menghafal dan Muroja'ah, jangan sampai membuang waktu sia-sia, gunakkan waktu waktu ditengah akan melaksanakan amalan, semisal setelah Sholat Fajar (subuh), antara Adzan dan Iqomah, selepas Sholat Dzhuhur dst
3. Gunakkanlah Lembaran kertas dan Pulpen untuk menulis ayat yang akan dihafal
4. Bawalah selalu lembar kertas itu kemana saja engkau pergi, agar anda ingat hafalan dan jangan sampai dibawa ke kamar mandi.
5. Dengarkanlah Disc/Audio Mp3 Al-Qur'anul Karim sebelum Istirahat atau disaat beraktifitas, InsyaAlloh memudahkan menghafal Al-Qur'an.
6. Milikilah olehmu seorang syaikh/ustadz yang akan membenarkan bacaan, Tilawah dan Tajwid.
7. Berkumpullah bersama keluarga dan sahabat-sahabatmu dalam menghafal ayat, utamakan berikan hadiah bagi yang diberikan kemudahan dalam menghafal (Berlomba-lombalah dalam kebaikan)
8. Jagalah Hafalan-mu, bacalah disaat melaksanakan sholat (Fardhu, Sunnah atau Tathowwu)
9. Bacalah Tafsir dari ayat yang akan anda baca agar memudahkanmu menghafal ayat tersebut.
10. Berusahalah agar menjaga niat Ikhlas untuk Alloh Ta'ala, mengharap balasan Alloh azza wajalla.
11. Anda tengah menyimpan pada kedua tangan anda -Kemuliaan yang agung- dalam menghafal Al-Qur'an.
12. Jauhilah oleh-mu dari menunda-nunda suatu amalan, Mulailah dengan tekad kuat, semangat tinggi dalam menghafal Al-Qur'an.
13. Di akhir, Jauhilah oleh mu kemaksiatan karena ia sebab utama hilangnya hafalan dan banyak lupa (Ayat yang telah di hafal)
Akhir kata, Aku Memohon kepada Alloh yang maha Tinggi, maha berkuasa, Agar Ia (Alloh) memberikan kemanfaat untu kalian, membantu kalian untuk mampu menghafal seluruh Isi Al-Qur'an.
Oleh : Al-Akh Ibnu Nizal [Alumni Ma’had ‘Aly Al-Furqon Li-Tahfidzil Qur’an Wa Dirasah Al-Islamiyah]
Disadur dari www. saaid.net

diambil dari VOA.Islam

By Badroe with No comments

Rukun dan Cara Mengerjakan Shalat Jenazah

Rukun dan Cara Mengerjakan Shalat Jenazah
Shalat jenazah tidak disertai dengan rukuk dan sujud tidak dengan adzan dan iqmat. Setelah berdiri sebagaimana mestinya, maka:
1. Niat melakukan shalat mayit dengan 4 kali takbir.
Niatnya: (untuk mayit laki-laki)
"Ushallii alaa hadzal mayyiti arba’a takbiiraatin fardhal kifaayati ma’muuman lillaahi ta’alaa."
Artinya: 
Aku niat shalat atas mayit ini empat takbir fardhu kifayah karena Allah.
Niat (untuk mayit perempuan)
"Ushallii alaa haadzihil mayyiti arba’a takbiiraatin fardhal kifaayati ma’muuman lillaahi ta’aalaa."
2. Takbir Pertama
Setelah takbiratul ihram, yakni setelah mengucapkan “Allahu akbar” sambil meletakan tangan kanan di atas tangan kiri di atas perut (sidakep), kemudian membaca Al-Fatihah, setelah membaca Al-Fatihah lalu takbir “Allahu akbar”
3. Setelah takbir kedua, lalu membaca shalawat:
"Allahumma shalli ‘alaa Muhammad"
Artinya:
“Ya Allah, berilah shalawat atas Nabi Muhammad”.
Lebih sempurna lagi jika membaca shalawat sebagai berikut:
"Allahumma shalli ‘alaa Muhammadin wa’alaa aali Muhammadin. Kamaa shallaita ‘alaa Ibrahim wa ‘allaa aali Ibrahim. Wa baarik ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aalii Muhammad. Kamaa baarakta ‘alaa Ibrahim wa ‘alaa aali Ibrahim fil-‘aalamiina innaka hamiidummajid."
Artinya:
“Ya Allah, berilah shalawat atas Nabi Muhammad dan atas keluarganya, sebagaimana Tuhan pernah memberi rahmat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dan limpahkanlah berkah atas Nabi Muhammad dan para keluarganya, sebagaimana Tuhan pernah memberikan berkah kepada Nabi Ibrahim dan para keluarganya. DI seluruh ala mini Tuhanlah yang terpuji Yang Maha Mulia.”
4. Setelah takbir yang ketiga, kemudian membaca doa:
" Allahummaghfir lahuu warhamhu wa’aafihii wa’fu’anhu. "
Artinya:
“Ya Allah, ampunilah dia, berilah rahmat dab sejahtera, maafkanlah dia.”
Lebih sempurna lagi jika membaca doa:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ

وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ

مِنْ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنْ الدَّنَسِ

 وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ

 وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ

 وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّار

" Allahummaghfir lahu (lahaa) warhamhu (haa) wa’aafihii (haa) wa’fu ‘anhu (haa) wa akrim nuzulahu (haa) wawassa’madkhalahu (haa) waghsilhu (haa) bil-maa’I watstsalji wal-baradi wanaqqihi (haa) minal-khathaayaa kamaa yu-naqqatats-tsaubul-abyadhu minad-danasi waabdilhu (haa) daaran khairan min daarihi (haa) wa ahlan khairan min ahlihi (haa) wa zaujan khairan min zaujihi (haa) wa adkhilhul jannata wa a’iduhu min ‘adabil qabri wa ‘adabin nar. "
Artinya:
“Ya Allah, ampunilah dia, dan kasihanilah dia, sejahterakan ia dan ampunilah dosa dan kesalahannya, hormatilah kedatangannya, dan luaskanlah tempat tinggalnya, bersihkanlah ia dengan air, salju dan embun. Bersihkanlah ia dari segala dosa sebagaimana kain putih yang bersih dari segala kotoran, dan gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya yang dahulu, dan gantikanlah baginya ahli keluarga yang lebih baik daripada ahli keluarganya yang dahulu, dan peliharalah ia dari siksa kubur dan azab api neraka.”
(HR. Muslim)
Keterangan:
Jika mayit perempuan kata lahu menjadi lahaa.
Jika mayit anak-anak doanya adalah:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًَا لِاَبَوَيْهِ وَسَلَفًا وَذُخْرًا

وَعِظَةً وَاعْتِبَارًا وَشَفِيْعًا وَ ثَقِّلْ بِهِ مَوَازِيْنَهُمَا

وَاَفْرِغِ الصَّبْرَعَلىٰ قُلُوْبِهِمَا وَلاَ تَفْتِنْهُمَا بَعْدَهُ

وَلاَ تَحْرِ مْهُمَا اَجْرَهُ

Allahummaj’alhu faratan li abawaihi wa salafan wa dzukhro
wa’idhotaw  wa’tibaaraw wa syafii’an wa tsaqqil bihii mawaa ziinahuma
wa-afri-ghish-shabra ‘alaa quluu bihimaa wa laa taf-tin-humaa ba’dahu
wa laa tahrim humaa ajrahu
Artinya:
“Ya Allah, jadikanlah ia sebagai simpanan pendahuluan bagi ayah bundanya dan sebagai titipan, kebajikan yang didahulukan, dan menjadi pengajaran ibarat serta syafa’at bagi orangtuanya. Dan beratkanlah timbangan ibu-bapaknya karenanya, serta berilah kesabaran dalam hati kedua ibu bapaknya. Dan janganlah menjadikan fitnah bagi ayah  bundanya sepeninggalnya, dan janganlah Tuhan menghalangi pahala kepada dua orang tuanya.”
5. Selesai takbir keempat, lalu membaca:

اَللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْناَ أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَا بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَناَ وَلَهُ

Allahumma laa tahrimnaa ajrahu wa laa taftinnaa ba’dahu waghfir lanaa wa lahu.
Artinya:
“Ya Allah, janganlah kiranya pahalanya tidak sampai kepada kami (janganlah Engkau meluputkan kami akan pahalanya), dan janganlah Engkau member kami fitnah sepeninggalnya, dan ampunilah kami dan dia.”
6. Kemudian setelah salam membaca:
As-sallamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakaatuh.
Artinya:
“Keselamatan dan rahmat Allah semoga tetap pada kamu sekalian.”

By Badroe with No comments

Rukun Pernikahan

Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita
Ada wali pengantin perempuan
Ada dua orang saksi pria dewasa
Ada ijab (penyerahan wali pengantin wanita) dan ada qabul (penerimaan dari pengantin pria)

By Badroe with No comments

Ucapan Selamat Bagi Orang Tua yang Baru Melahirkan

Alhamdulaillah, dari sebuah blog temen yang menjelaskan bagaimana do'a terhadap temen kita yang baru melahirkan. Di blog tersebut dijelaskan bahwa dalam buku Menyambut si Buah Hati yang ditulis oleh Salim Rasyid As-Sibli dan Muhammad Khalifah (terbitan Ash-Shaf Media, halaman 30-31), penulis buku tersebut mengatakan,
“Tidak terdapat satu hadits pun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ucapan selamat, dan tidak ada sesuatu pun kecuali atsar yang diriwayatkan dari para tabi’in. Di antaranya dari Hasan Al-Bashri rahimahullah, bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Bagaimana cara saya mengucapkan ucapan selamat (kelahiran)?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah olehmu,

جَعَلَ اللهُ مُبَارَكًا عَلَيْكَ وَ عَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

“Ja’alallahu mubaarokan ‘alaika wa ‘ala ummati Muhammadin”
Artinya, “Semoga Allah menjadikannya anak yang diberkahi atasmu dan atas umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”
(Atsar ini hasan, dikeluarkan oleh Imam Thabrani).” 
Sebenarnya masih ada atsar lain dari Ayyub As-Sikhtiyani, namun karena lafazhnya sama, kita cukupkan dengan atsar Hasan Al-Bashri. Untuk melihat atsar tersebut serta takhrij atsar yang lebih komplit bisa dilihat di buku terjemahannya.
Kemudian, penulis juga berkata,
“Atsar-atsar seperti ini jauh lebih baik daripada apa yang kami lihat berupa ucapan yang diada-adakan yang bisa digunakan pada hari ini. Dan tidak seorang pun di antara ahlul ilmi yang memperbolehkannya. Akan tetapi bersamaan dengan itu kami tidak melazimkan (membiasakan) memberi ucapan selamat seperti di atas, layaknya amalan itu disebutkan oleh sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak juga kami menjadikannya seperti dzikir-dzikir yang lain yang telah pasti di dalam as-sunnah. Maka barangsiapa yang mengucapkannya pada suatu kali, tidak mengapa. Adapun yang tidak mengucapkannya maka tidak ada ruginya.” 

By Badroe with No comments

8 (Delapan) Penyebab Batalnya Wudhu Seseorang

Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari shalat seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan membatalkan pula shalat seseorang sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali
Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena adanya sandaran dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan telah terjadinya ijma’ di antara mereka tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi.
Pembatal wudhu yang disepakati
1. Kencing (buang air kecil/BAK)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 135)
Hadits ini menunjukkan bahwa hadats kecil ataupun besar merupakan pembatal wudhu dan shalat seorang, dan kencing termasuk hadats kecil.
2.Buang Air Besar
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan perkara yang mengharuskan wudhu (bila seseorang hendak mengerjakan shalat):
أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغآئِطِ
Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar…” (Al-Maidah: 6)
Dengan demikian bila seseorang buang air besar (BAB) batallah wudhunya.
3. Keluar angin dari dubur (kentut)
Angin yang keluar dari dubur (kentut) membatalkan wudhu, sehingga bila seseorang shalat lalu kentut, maka ia harus membatalkan shalatnya dan berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal.
Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim Al-Mazini radhiallahu ‘anhu berkata: “Diadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang menyangka dirinya kentut ketika ia sedang mengerjakan shalat. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendengar bunyi kentut (angin) tersebut atau mencium baunya.” (HR. Al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 135)
Mendengar penyampaian Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ini, berkatalah seorang lelaki dari Hadhramaut: “Seperti apa hadats itu wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Angin yang keluar dari dubur (kentut) yang bunyi maupun yang tidak bunyi.”
Sementara perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, beliau berkata: “Abu Hurairah menjelaskan tentang hadats dengan perkara yang paling khusus (yaitu angin dari dubur) sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adalah hadats yang paling ringan sementara di sana ada hadats yang lebih berat darinya. Dan juga karena angin ini terkadang banyak keluar di saat seseorang melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain.” (Fathul Bari, 1/296)
Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dengan keluarnya hadats, sama saja baik keluarnya dengan keinginan ataupun terpaksa. (Fathul Bari, 1/269)
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: Salma, maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau istrinya Abu Rafi‘ maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengadukan Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Rafi’: “Ada apa engkau dengan Salma, wahai Abu Rafi‘?” Abu Rafi‘ menjawab: “Ia menyakitiku, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Dengan apa engkau menyakitinya wahai Salma?” Kata Salma: “Ya Rasulullah, aku tidak menyakitinya dengan sesuatupun, akan tetapi ia berhadats dalam keadaan ia sedang shalat, maka kukatakan padanya: ‘Wahai Abu Rafi‘, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin, apabila salah seorang dari mereka kentut, ia harus berwudhu.’ Abu Rafi‘ pun bangkit lalu memukulku.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa seraya berkata: “Wahai Abu Rafi‘, sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” (HR. Ahmad 6/272, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/521)
Adapun orang yang terus menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser (kencing terus menerus) (Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah t, 1/282) atau orang yang kentut terus menerus atau buang air besar terus menerus maka ia diberi udzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/221)
4. Keluar Madzi
Keluarnya madzi termasuk pembatal wudhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ali berkata: “Aku seorang yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk bertanya langsung kepada Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena keberadaan putrinya (Fathimah radhiallahu ‘anha) yang menjadi istriku. Maka akupun meminta Miqdad ibnul Aswad radhiallahu ‘anhu untuk menanyakannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab:
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
5. Keluar Wadi
Keberadaan wadi sama halnya dengan madzi atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu seseorang.
6. Keluar Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita adalah hadats besar yang karenanya membatalkan wudhu wanita yang bersangkutan. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah di atas tentang batalnya wudhu karena hadats. Dan selama masih keluar darah haid dan nifas ini diharamkan baginya mengerjakan shalat, puasa dan bersenggama dengan suaminya sampai ia suci.
Dikecualikan bila darah dari kemaluan itu keluar terus menerus di luar waktu kebiasaan haid dan bukan disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang menderita istihadhah, karena wanita yang istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Bila si wanita yang menderita istihadhah itu ingin berwudhu untuk shalat hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.” (Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa, hal. 50)
7. Keluarnya Mani
Seseorang yang keluar maninya wajib baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu, karena dengan keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/ janabah yang berarti dia telah hadats besar. Berbeda dengan kencing, BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang merupakan hadats kecil sehingga dicukupkan dengan wudhu.
8. Jima’ (senggama)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Apabila seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia bersungguh-sungguh padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah wajib baginya untuk mandi (janabah).” (HR. Al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
Sekalipun ia tidak keluar mani.”
Dari hadits di atas kita pahami bila jima‘ (senggama) sekalipun tidak sampai keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi, sehingga jima‘ perkara yang membatalkan wudhu.
Pembatal wudhu yang diperselisihkan
Dalam masalah fiqhiyyah baik itu fiqh ibadah ataupun fiqh muamalah sering sekali kita dapati perselisihan di antara ahlul ilmi. Hal ini disebabkan tersamarnya dalil yang jelas dalam pengetahuan mereka, baik dari Al-Qur’an ataupun dari hadits dan karena satu keadaan dimana masing-masing mereka harus berijtihad terhadap permasalahan yang ada, sehingga timbullah beragam pandangan. Permasalahan ini sebetulnya bukan permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati mereka berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman setelahnya dari kalangan para imam. Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya.
Demikianlah yang ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yang diperselisihkan di sini, yang mana mungkin penulis berbeda pandangan dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca, sehingga bila didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya dengan tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah ma’ruf di kalangan ahlul ilmi salafus shalih. Mungkin penulis memberikan contoh waqi‘iyyah (kenyataan) yang penulis sendiri mengalaminya (yang terkenang di sisi penulis). Suatu ketika penulis shalat berdampingan dalam satu shaf dengan guru kami Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil rahimahullah. Pada waktu itu penulis berpandangan menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud karena memilih pendapat tahrik (menggerak-gerakkan jari) sesuai dengan pendapat yang ma’ruf. Sementara guru kami adalah orang yang sangat keras melemahkan hadits dalam masalah tahrik ini dan memandangnya syadz (ganjil). Namun selesai shalat beliau rahimahullah tidak memaksakan pendapatnya kepada penulis dalam keadaan beliau berkuasa untuk memaksa dan melakukan penekanan. Bahkan yang ada dalam berbagai majelis beliau berbangga dengan keberadaan murid-muridnya yang tidak taqlid (mengikut tanpa dalil) kepada beliau tapi berpegang dengan dalil sekalipun harus berbeda pandangan dengan beliau rahimahullah rahmatan wasi‘atan.
1. Menyentuh wanita
Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ
Atau kalian menyentuh wanita …” (An-Nisa: 43)
Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, Al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/ umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat. Abu ‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir Asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu.
Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu.
Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al-Qur’an sendiri1 dan juga dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang dimaukan (oleh ayat Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini) adalah jima’, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna ayat ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).
Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/410)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202)
Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya:
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنْتُ أَناَمُ بَيْنَ يَدَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا
Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)
Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengabarkan:
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486)
2. Muntah
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan: “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268). Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2
Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:
- Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59)
- Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234). Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:
1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘i.
3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama.
4. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112)
Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌ فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ…
Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men-dha’if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36)
3. Darah yang keluar dari tubuh
Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ah, An-Nashir, Malik dan Asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)
Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara mu‘allaq dan secara maushul oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)
Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/ penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
1 Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab: 49)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’.
2 Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy-Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih (hal. 111)
3 Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang diperselisihkan ahlul ilmi sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu‘ (2/63).
4 Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)

Dikutip dari: http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/07/29/8-delapan-penyebab-batalnya-wudhu-seseorang/#more-926

By Badroe with No comments

Puasa Sunnah Syawal

Puasa Seperti Setahun Penuh
Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164). Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalamIrwa’ul Gholil). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”
Dalam hadits tersebut diterangkan, bahwa pahala orang yang berpuasa Ramadhan dan enam hari di bulan Syawwal sama pahala dengan puasa setahun. Karena satu pahala kebaikan nilainya sama dengan sepuluh kali kebaikan (QS. Al-An' am:160). Jika satu kebaikan dihitung sepuluh pahala, berarti puasa Ramadhan selama satu bulan dihitung sepuluh bulan. Dan puasa enam hari di bulan Syawwal dihitung dua bulan. Jadi total jumlahnya adalah satu tahun.

Waktu Puasa Syawal
Puasa syawal ini dimulai saat tanggal 2 syawal, karena puasa pada tanggal 1 syawal merupakan salah satu waktu yang diharamkan untuk berpuasa. Umar r.a. berkata : Dua hari ini Rasul Saw. melarang berpuasa yakni puasa di hari Idul Fitri dan hari dimana kamu makan dan ibadah qurban (H.R.Muslim). Rentang waktu untuk melaksanakan puasa syawal dapat dilakukan selama bulan syawal, baik di awal syawal (mulai tanggal 2 syawal), pertengahan hingga akhir bulan syawal.

Bayar Hutang (qodho') Puasa atau Puasa Syawal terlebih dahulu?
Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah.
Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100).

Pelaksanaan Puasa Syawal Bolehkan tidak Berurutan?
Imam Nawawi Rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim 8/328: “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”. Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman,“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48). Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.

Berbagai sumber

By Badroe with No comments

 
google.com, pub-0086328622447233, DIRECT, f08c47fec0942fa0