Belajar Bersyukur

Oleh : Prio Sudiyatmoko


Kita perlu belajar bersyukur sebab kita masih kurang pandai bersyukur. Seringkali terlintas ide-ide cemerlang di benak kita, ide-ide yang kalau dilaksanakan dengan tekun pasti menjadikan kita berada di barisan orang-orang sukses. Tapi apa boleh buat? Ide hanya tinggal ide di kepala dan di atas kertas sebab tiada kesungguhan untuk benar-benar merealisasikannya. Mungkinkah ini tanda-tanda bahwa kita kurang bersyukur?

Ada segelintir teman yang punya pengalaman seperti itu. Punya segudang ide yang silih berganti tapi tak ada satupun yang terlaksana sesuai rencana. Saat mereka curhat, ada kesamaan yang kami temui. Ternyata kebanyakan mereka adalah konseptor yang tak bisa menjadi eksekutor. Punya visi dan konsep yang kuat, tapi lemah dalam manajemen. Ditambah lagi, sulit mendapat partner yang bisa diajak berpikir dan bekerja sama. Memang di sinilah tantangan bagi orang-orang yang memiliki suatu ide. Mereka harus menyebarluaskan ide-ide dan keinginannya agar diterima orang lain, dan mereka pun harus meyakinkan orang lain agar mau membantu mewujudkan ide-ide itu. Ini erat kaitannya dengan kepemimpinan.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberi saya kenikmatan di dalam hidup ini. Di antara limpahan nikmat itu, saya diberi-Nya beberapa kebaikan yang menjadi kelebihan dibanding orang lain pada umumnya. Rasanya semua itu mengalir begitu saja tanpa rencana yang jelas. Saya tidak lahir di lingkungan pesantren dan tidak pula orang tua saya aktif dalam organisasi keagamaan apapun. Sejak kecil saya disekolahkan di sekolah umum dengan pelajaran agama yang seadanya. Di lingkungan rumah, saya ikut mengaji seperti anak-anak lain pada umumnya. Biasa saja, tak ada prestasi istimewa yang pernah saya raih seputar itu. Tapi saya suka membaca Al-Qur’an dan melagukannya. Banyak orang yang bilang kalau suara saya ini enak didengar. Saya suka mendengarkan bacaan para qari’ di televisi dan ingin sekali menirukannya. Atau terkadang, kalau saya mendengar seorang ustadz berceramah dan ceramahnya enak didengar, saya membayangkan bisa berceramah seperti itu. Ya, hanya itu. Selebihnya, tak ada yang signifikan seputar latar belakang aktivitas keagamaan saya.

“Tiba-tiba” hari-hari ini saya sering mendapat kesempatan berbicara di depan banyak orang. Saya memberi ceramah, khutbah, mengisi kajian keislaman, memimpin forum, hingga menyampaikan pelatihan motivasi spiritual di kalangan pemuda. Ditambah lagi, kerap saya diminta membacakan ayat-ayat Al-Qur’an pada seremoni berbagai acara, dari acara syukuran khitanan, kajian, acara partai politik, sampai seremoni pernikahan. Saya juga sering diminta mengimami shalat tahajjud dalam acara mabit dan menjadi imam khusus di Bulan Ramadhan. Sulit bagi saya untuk menolak memberi bantuan. Kadang saya merasa agak ‘terpaksa’ dalam membantu. Saya memang sulit mengatakan “Tidak!”. Itu di antara kelemahan saya, meskipun tetap saja ada unsur keinginan yang tiba-tiba saja bermunculan. Dan itu semua adalah ujian.

Contoh kondisi semacam itu adalah sitr. Allah-lah yang memberi sitr atau penutup itu sehingga orang melihat kita dengan penutup itu. Maksudnya, orang sering menyangka bahwa kita lebih baik daripada kualitas diri kita sebenarnya. Inilah ujiannya, dan inilah tantangannya. Ujian untuk tetap ikhlas dan tawadhu’ (merendah di hadapan orang lain), rendah hati yang bukan basa-basi. Tantangan untuk menyesuaikan diri dengan sangkaan baik orang lain, bukan malah menikmatinya sebagai pujian padahal kita tak layak mendapat pujian itu.

Kemampuan, atau lebih tepatnya kemauan untuk melakukan akselerasi dalam rangka mengimbangi sangkaan baik orang lain itulah yang bisa dimaknai sebagai salah satu bentuk kesyukuran. Kita – orang-orang awam – sering memaknai syukur sebagai rasa terima kasih kepada Allah jika kita mendapat nikmat. Masalahnya, kita menunggu nikmat itu datang dulu, lebih banyak dari biasanya, kemudian baru kita bersyukur. Kita lupa bahwa kenikmatan yang Allah berikan itu luas sekali. Hari-hari yang kita lalui adalah wujud kenikmatan tapi kita tidak merenungi adanya kenikmatan itu. Kita menunggu ada nikmat yang lebih besar barulah kita menganggapnya sebagai nikmat yang perlu disyukuri. Dan umumnya kita memaknai syukur sekedar ucapan atau formalitas belaka. Tak sedikit di antara kita yang bahkan mengadakan seremoni kesyukuran padahal kita belum betul-betul menghayati dan mengaplikasikan makna kesyukuran itu.

Allah menyeru kita untuk bersyukur atas kenikmatan yang ada – yang banyaknya tak bisa terhitung. La insyakartum la aziidannakum, “Sungguh kalau kamu bersyukur, akan Aku tambah nikmat itu untukmu.” Bersyukur dulu, baru kemudian ada tambahan nikmat. Bukan seperti persepsi kita pada umumnya, ada tambahan nikmat dulu, barulah kita bersyukur.

Ide-ide yang kita miliki adalah nikmat yang dilimpahkan Allah kepada kita, sekaligus juga ujian. Cara kita bersyukur, setelah ungkapan pujian dan rasa terima kasih kepada Allah yang menganugerahi kita dengan akal, adalah mengoptimalkan ide-ide itu, menjalankannya dengan tujuan ibadah sehingga ide-ide kita itu akan berkembang dan menjadi berkah dalam kehidupan. Kalau kita punya ide yang cemerlang tapi tak kunjung direalisasikan, mungkin itu karena kita kurang bersyukur. Dan artinya kita belum konsisten dengan gagasan kita sendiri. Apalagi jika tiba-tiba kita mengurungkan suatu gagasan karena muncul gagasan lainnya yang kita pikir lebih menarik. Yang pertama belum dikerjakan, tahu-tahu sudah ingin mengerjakan yang kedua, dan seterusnya gagasan-gagasan kita tak pernah bisa terselesaikan.

Fokus pada satu pekerjaan atau garapan terbatas adalah jalan yang terbaik bagi orang-orang yang punya banyak ide. Yang terpenting dari semua itu adalah tujuan utamanya. Baru setelah itu akan kita lihat pekerjaan itu berkembang dengan sendirinya. Ia akan menemukan jalannya sendiri menuju tujuan besar yang telah kita tetapkan. Jika tujuannya adalah mencari ridha Allah, maka Dia akan menunjukkan jalannya. Kita tinggal mengikuti saja isyarat-isyarat petunjuk jalan itu. Ya, mungkin inilah di antara makna syukur yang belum kita penuhi. []



By Badroe with No comments

0 komentar:

 
google.com, pub-0086328622447233, DIRECT, f08c47fec0942fa0