Kemungkaran-Kemungkaran yang Terjadi di Hari Raya

26 September 08 oleh Wira

Oleh: Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi dan Syaikh Salim Al Hilali

Ketahuilah wahai saudaraku muslim -semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu- sesungguhnya kebahagiaan yang ada pada hari-hari raya kadang- kadang membuat manusia lupa atau sengaja melupakan perkara-perkara agama mereka dan hukum-hukum yang ada dalam Islam. Sehingga engkau melihat mereka banyak berbuat kemaksiatan dan kemungkaran-kemungkaran dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya !! Semua inilah yang mendorongku untuk menambahkan pembahasan yang bermanfaat ini dalam tulisanku, agar menjadi peringatan bagi kaum muslimin dari perkara yang mereka lupakan dan mengingatkan mereka atas apa yang mereka telah lalai darinya (Kemungkinan-kemungkinan yang disebutkan secara umum dilakukan pada waktu hari raya ataupun di luar hari raya, akan tetapi kemungkaran itu lebih besar dan bertambah dilakukan pada hari-hari raya].

Diantara kemungkaran itu adalah :

Pertama : Berhias dengan mencukur jenggot
Perkara ini banyak dilakukan manusia. Padahal mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih yang berisi perintah untuk memanjangkan jenggot agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang kita diperintah untuk menyelisihi mereka. Selain berkaitan dengan hal itu, memanjangkan jenggot termasuk fithrah (bagi laki-laki) yang tidak boleh kita rubah. Dalil-dalil tentang keharaman mencukur jenggot terdapat dalam kitab-kitab Imam Madzhab yang empat yang telah dikenal [Lihat Fathul Bari 10/351, Al-Ikhtiyar Al- Ilmiyah 6, Al-Muhalla 2/220, Ghidza'ul Albab 1/376 dan selainnya. Al-Akh Syaikh Muhammad bin Ismail telah meneliti dalam kitabnya "Adillah Tahrim Halqil Lihyah" hadits-hadits yang ada dalam masalah ini, kemudian ia kemenyebutkan penjelasan ulama tentangnya, dan juga nukilan-nukilan dari kitab-kitab madzhab yang jadi sandaran. Lihatlah kitab yang berharga itu. dan lihat juga "Majallah Al-Azhar" 7/328. Aku telah menulis risalah berjudul "Hukum Ad-Dien Fil Lihyah wat tadkhin" - Alhamdulillah- Kitab itu telah dicetak beberapa kali.] Hendaklah hal itu diketahui.

Kedua : Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya

Ini merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah. Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya” [Hadits Shahih, Lihat takhrijnya secara panjang lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku. Diriwayatkan ar Rauyaani dalam musnadnya 227/2 dari Ma’qil bin Yasaar dan sanadnya jayyid lihat Silsilah Ahadits ash Shohihah karya Al Albani no 226]

Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]

Ketiga : Tasyabbuh (meniru) orang-orang kafir dan orang-orang barat dalam berpakaian dan mendengarkan alat-lat musik serta perbuatan mungkar lainnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “ Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka” [Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 2/50 dan 92 dari Ibnu Umar dan isnadnya Hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Musykil Al Atsar 1/88 dari Hassan bin Athiyah, Abu Nu'aim dalam Akhbar Ashbahan 1/129 dari Anas, meskipun ada pembicaraan padanya, tetapi dengan jalan-jalan tadi, hadits ini derajatnya Shahih, insya Allah]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “ Benar-benar akan ada pada umatku beberapa kaum yang mereka menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki ,- pent), khamr dan alat-alat musik. Dan benar-benar akan turun beberapa kaum menuju kaki gunung untuk melepaskan gembalaan mereka sambil beristirahat, kemudian mereka didatangi seorang fasik untuk suatu keperluan. Kemudian mereka berkata : ‘Kembalilah kepada kami besok!’ Lalu Allah membinasakan dan menimpakan gunung itu pada mereka dan sebagian mereka dirubah oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-babi hingga hari kiamat” [Hadits Riwayat Bukhari 5590 secara muallaq dan bersambung menurut Abu Daud 4039, Al-Baihaqi 10/221 dan selainnya. berkata Al-Hafidzh dalam Hadyu As-Sari 59 : Al-Hasan bin Sufyan menyambungnya dalam Musnadnya, dan Al-Isma'ili, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Abu Nua'im dari empat jalan, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan selain mereka. Aku katakan : Dalam hadits ini ada lafadh-lafadh yang asing, aku akan menjelaskannya dengan berurutan. Sabdanya, al Hira ialah al Faraj (kemaluan), maksudnya perzinaan. AL Ma’azif, Ibnu Atsir dalam an Nihayah 3/230 menjelaskan al Azf bermakna memainkan alat musik, yaitu rebana dan selainnya yang dipukul. Berkata adz Dzahabi (at Tadzkirah 4/1337) : Al Maazif ialah nama untuk semua yang dibunyikan seperti gendang dan lain-lain dari peralatan musik. Lihat Ta’liq yang sebelumnya. Sabdanya, ‘alamun ialah puncak gunung. Sabdanya Bisaarihatin, ialah hewan ternak yang keluar pada pagii hari ke pemiliknya. Fayubayituhum, yaitu dibinasakan. Yadah’ul Alam : menghancurkan mereka. Lihat Tahtim an Nard wasy Syathranji wal Malaahi, oleh al Ajurri (292-299), penting !!!]

Keempat : Masuk dan becengkerama dengan wanita-wanita yang bukan mahram.

Hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau, “ Hati- hatilah kalian masuk untuk menemui para wanita”. Maka berkata salah seorang pria Anshar : “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang Al-Hamwu” Beliau berkata : “Al-Hamwu adalah maut” [Hadits Riwayat Bukhari 5232, Muslim 2172 dari 'Uqbah bin Amir].

Al- Allamah Az-Zamakhsyari berkata dalam menerangkan “Al-Hamwu”. “Al-Hamwu? bentuk jamaknya adalah Ahmaa’ adalah kerabat dekat suami seperti ayah[Dia dikecualikan berdasarkan nash Al-Qur'anul Karim, lihat "Al-Mughni" 6/570], saudara laki-laki, pamannya dan selain mereka… Dan sabda beliau : “Al-Hamwu adalah maut” maknanya ia dikelilingi oleh kejelekan dan kerusakan yang telah mencapai puncaknya sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakannya dengan maut, karena hal itu merupakan sumber segala bencana dan kebinasaan. Yang demikian karena Al-Hamwu lebih berbahaya daripada orang lain yang tidak dikenal. Sebab kerabat dekat yang bukan mahram terkadang tidak ada kekhawatiran atasnya atau merasa aman terhadap mereka, lain halnya dengan orang yang bukan kerabat. Dan bisa jadi pernyataan “Al-Hamwu adalah mau” merupakan do’a kejelekan, yaitu seakan-akan kematian itu darinya, kedudukannya seperti ipar yang masuk menemuinya, jika ia meridhainya dengan itu” ["Al-Faiq fi Gharibil Hadits" 9 1/318, Lihat "An-Nihayah 1/448, Gharibul Hadits 3/351 dan Syarhus Sunnah 9/26,27]

Kelima : Wanita-wanita yang bertabarruj (berdandan memamerkan kecantikan) kemudian keluar ke pasar-pasar atau tempat lainnya.

Ini merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syari’at Allah. Allah Ta’ala berfirman, “ Hendaklah mereka wanita-wanita) tinggal di rumah-rumah mereka dan jangan bertabarruj ala jahiliyah dulu dan hendaklah mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat” [Al-Ahzab : 33]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Dua golongan manusia termasuk penduduk neraka yang belum pernah aku melihatnya : …….. dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggak-lenggok[Menyimpang dari taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan keharusan mereka untuk menjaga kemaluan, "An- Nihayah" 4/382], kepala-kepala mereka bagaikan punuk-punuk unta[Berkata Al- Qadli 'Iyadh dalam Masyariqul Anwar 1/79 : Al-Bukht adalah unta yang gemuk yang memiliki dua punuk. Maknanya -wallahu a'lam- wanita-wanita itu menggelung rambut mereka hingga kelihatan besar dan tidak menundukkan pandangan mata mereka.]. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau suurga dapat tercium dari perjalanan sekian dan sekian” [Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam "Shahihnya" 2128, 2856 dan 52, Ahmad 2/223 dan 236 dari Abu Hurairah]

Keenam : Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya, membagi-bagikan manisan dan makanan di pekuburan, duduk di atas kuburan, bercampur baur antara pria dan wanita, bergurau dan meratapi orang-orang yang telah meninggal, dan kemungkaran-kemungkaran lainnya.[Lihat perincian yang lain tentang bid'ah yang dilakukan di kuburan dalam kitab "Ahkamul Janaiz" 258-267 oleh Syaikh kami Al- Albani Rahimahullah]

Ketujuh : Boros dalam membelanjakan harta yang tidak ada manfaatnya dan tidak ada kebaikan padanya.

Allah berfirman, “ Janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [Al-An'am : 141]
(yang artinya) : “ Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat boros itu adalah saudaranya syaitan” [Al-Isra : 26-27]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Tidak akan berpindah kedua kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang … dan hartanya dari mana ia perolah dan ke mana ia infakkan” [Hadits Riwayat Tirmidzi 2416, Al-Khatib dalam Tarikh-nya 12/440 dari Ibnu Mas'ud, padanya ada kelemahan. Akan tetapi ada pendukungnya dari Abi Barzah di sisi Ad-Darimi (1/131), Abu Nua’im dalam al Hulyah (10/232), Ibnu Ad Daibsyi dalam Dzail Tarikh Baghdad 2/163. Dan dari Mu'adz di sisi Al-Khatib 11/441. Maka hadits ini Hasan.]

Kedelapan : Kebanyakan manusia meninggalkan shalat berjama’ah di masjid tanpa alasan syar’i atau mengerjakan shalat Id tetapi tidk shalat lima waktu. Demi Allah, sesungguhnya ini adalah salah satu bencana yang amat besar.

Kesembilan : Berdatangannya sebagian besar orang-orang awam ke kuburan setelah fajar hari raya, mereka meninggalkan shalat Id, dirancukan dengan bid’ah mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya. [Al-Madkhal 1/286 oleh Ibnu Hajj, Al- Ibda hal.135 oleh Ali Mahfudh dan Sunnanul Iedain hal.39 oleh Al-Syauqani]

Sebagian mereka meletakkan pada kuburan itu pelepah kurma[Lihat Ahkamul Jazaiz hal. 253, Ma'alimus Sunan 1/27 dan ta'liq Syaikh Ahmad Syakir atas Sunan Tirmidzi 1/103] dan ranting-ranting pohon !!
Semua ini tidak ada asalnya dalam sunnah.

Kesepuluh : Tidak adanya kasih sayang terhadap fakir miskin.
Sehingga anak-anak orang kaya memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan dengan bebagai jenis makanan yang mereka pamerkan di hadapan orang-orang fakir dan anak-anak mereka tanpa perasaan kasihan atau keinginan untuk membantu dan merasa bertanggung jawab. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya” [Hadits Riwayat Bukhari 13 dan Muslim 45, An-Nasa'i 8/115 dan Al-Baghawi 3474 meriwayatkan dengan tambahan ; "dari kebaikan" dan isnadnya Shahih]

Kesebelas : Bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang dianggap syaikh dengan pengakuan bertaqqarub kepada Allah Ta’ala, padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam agama Allah. Bid’ah itu banyak sekali dilakukan muslimin [Lihat beberapa di antaranya dalam kitab A'yadul Islam 58 pasal Bida'ul Iedain]. Aku hanya menyebutkan satu saja di antaranya, yaitu kebanyakan para khatib dan pemberi nasehat menyerukan untuk menghidupkan malam hari Id (dengan ibadah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tidak hanya sebatas itu yang mereka perbuat, bahkan mereka menyandarkan hadits palsu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghidupkan malam Idul Fithri dan Idul Adha maka hatinya tidak akan mati pada hari yang semua hati akan mati” [Hadits ini palsu (maudlu'), diterangkan oleh ustazd kami Al-Albani dalam "Silsilah Al-Ahadits Adl- Dlaifah" 520-521]

Maka tidak boleh menyandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapan tersebut. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

(Dinukil dari Ahkaamu Al’ Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Sumber : Ulama Sunah

By Badroe with No comments

Do'akanku ya..

Buat semuanya yang beragama Islam saya minta, tolong doakan kebaikan untuk saya, bagi agama, dakwah, dunia dan akhirat saya karena.........
Dari Abu Darda' bahwa dia berkata bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Tidaklah seorang muslim berdoa untuk saudaranya yang tidak di hadapannya, maka malaikat yang ditugaskan kepadanya berkata : "Amin, dan bagimu seperti yang kau doakan". [Shahih Muslim, kitab Doa wa Dzikir bab Fadli Doa fi Dahril Ghalib].
Imam An-Nawawi berkata bahwa hadits di atas menjelaskan tentang keutamaan seorang muslim mendoakan saudaranya dari tempat yang jauh, jika seandainya dia mendoakan sejumlah atau sekelompok umat Islam, maka tetap mendapatkan keutamaan tersebut. Oleh sebab itu sebagian ulama salaf tatkala berdoa untuk diri sendiri dia menyertakan saudaranya dalam doa tersebut, karena disamping terkabul dia akan mendapatkan sesuatu semisalnya. [Syarh Shahih Muslim karya Imam An-Nawawi 17/49]
Dari Shafwan bin Abdullah bahwa dia berkata : Saya tiba di negeri Syam lalu saya menemui Abu Darda' di rumahnya, tetapi saya hanya bertemu dengan Ummu Darda' dan dia berkata : Apakah kamu ingin menunaikan haji tahun ini ? Saya menjawab : Ya. Dia berkata : Doakanlah kebaikan untuk kami karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda.
"Artinya : Doa seorang muslim untuk saudaranya yang tidak ada di hadapannya terkabulkan dan disaksikan oleh malaikat yang ditugaskan kepadanya, tatkala dia berdoa untuk saudaranya, maka malaikat yang di tugaskan kepadanya mengucapkan : Amiin da bagimu seperti yang kau doakan". Shafwan berkata : "Lalu saya keluar menuju pasar dan bertemu dengan Abu Darda', beliau juga mengutarakan seperti itu dan dia meriwayatkannya dari Nabi. [Shahih Muslim, kitab Dzikir wa Doa bab Fadlud Doa Lil Muslimin fi Dahril Ghaib 8/86-87]
Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa jika seorang muslim mendoakan saudaranya kebaikan dari tempat yang jauh dan tanpa diketahui oleh saudara tersebut, maka doa tersebut akan dikabulkan, sebab doa seperti itu lebih berbobot dan ikhlas karena jauh dari riya dan sum'ah serta berharap imbalan sehingga lebih diterima oleh Allah. [Mir'atul Mafatih 7/349-350]

Sumber

By Badroe with No comments

Jabat tangan dengan lawan jenis

Pertanyaan:

Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan sudah barang tentu juga dihadapi orang lain, yaitu masalah berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, khususnya terhadap kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara ibu, atau saudara wanita istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang ada hubungan kekerabatan atau persemendaan dengan saya. Lebih-lebih dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni'ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain.

Pertanyaan saya, apakah ada nash Al-Qur'an atau As-Sunnah yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, sementara sudah saya sebutkan banyak motivasi kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, disamping ada rasa saling percaya. aman dari fitnah, dan jauh dari rangsangan syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama ini kuno dan terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.

Apabila ada dalil syar'inya, maka kami akan menghormatinya dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka adakalanya fuqaha-fuqaha kita sekarang boleh berbeda pendapat dengannya, apabila mereka mempunyai ijtihad yang benar, dengan didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.

Karena itu, saya menulis surat ini kepada Ustadz dengan harapan Ustadz berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya berdasarkan Al-Qur'anul Karim dan Al-Hadits asy-Syarif. Kalau ada dalil yang melarang sudah tentu kami akan berhenti; tetapi jika dalam hal ini terdapat kelapangan, maka kami tidak mempersempit kelapangan-kelapangan yang diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan dan bisa menimbulkan "bencana" kalau tidak dipenuhi.

Saya berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak itu tidak menghalangi Ustadz untuk menjawab surat saya ini, sebab - sebagaimana saya katakan di muka - persoalan ini bukan persoalan saya seorang, tetapi mungkin persoalan berjuta-juta orang seperti saya.

Semoga Allah melapangkan dada Ustadz untuk menjawab, dan memudahkan kesempatan bagi Ustadz untuk menahkik masalah, dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.

Jawaban:

Tidak perlu saya sembunyikan kepada saudara penanya bahwa masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan - yang saudara tanyakan itu - merupakan masalah yang amat penting, dan untuk menahkik hukumnya tidak bisa dilakukan dengan seenaknya. Ia memerlukan kesungguhan dan pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga si mufti harus bebas dari tekanan pikiran orang lain atau pikiran yang telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati acuannya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sehingga argumentasi-argumentasinya dapat didiskusikan untuk memperoleh pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kebenaran menurut pandangan seorang faqih, yang didalam pembahasannya hanya mencari ridha Allah, bukan memperturutkan hawa nafsu.

Sebelum memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya ingin mengeluarkan dua buah gambaran dari lapangan perbedaan pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum kedua gambaran itu tidak diperselisihkan oleh fuqaha-fuqaha terdahulu, menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:

Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi; penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan

Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya - yang pada asalnya mubah itu - bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah,1 khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.

Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.

Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2

Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur'an dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain:

"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (an-Nur: 60)

Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.

"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita ..."(an-Nur: 31)

Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan pengkajian dan tahkik.

Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya hingga wajah dan telapak tangannya, dan tidak menjadikan wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:

"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak itu adalah pakaian luar seperti baju panjang, mantel, dan sebagainya, atau yang tampak karena darurat seperti tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya. Maka tidak mengherankan lagi bahwa berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram. Sebab, apabila kedua telapak tangan itu wajib ditutup maka melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja haram, apa lagi menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat daripada melihat, karena ia lebih merangsang, sedangkan tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.

Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas fuqaha dari kalangan sahabat, tabi'in, dan orang-orang sesudah mereka berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "kecuali yang biasa tampak daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak) tangan.

Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan yang tidak disertai syahwat?

Sebenarnya saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan yang secara tegas menetapkan demikian, tetapi tidak saya temukan.

Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari'ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Tetapi dalam kondisi aman - dan ini sering terjadi - maka dimanakah letak keharamannya?

Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.

Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi sawmeninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan secara pasti - akan keharamannya. Adakalanya beliameninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruhadakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanysemata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, sepertbeliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.

Kalau begitu, sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi orang yang berpendapat demikian.

Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu bai'at itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu bai'at, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. menguji wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:

"Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Mumtahanah: 12)

Aisyah berkata, "Maka barangsiapa diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw.berkata kepadanya, "Aku telah membai'atmu - dengan perkataan saja - dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam bai'at itu; beliau tidak membai'at mereka melainkan dengan mengucapkan, 'Aku telah membai'atmu tentang hal itu.'" 4

Dalam mensyarah perkataan Aisyah "Tidak, demi Allah ...," al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari sebagai berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan berita, dan dengan perkataannya itu seakan-akan Aisyah hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah. Menurut riwayat Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisahbai'at, Ummu Athiyah berkata:

"Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, 'Ya Allah, saksikanlah.'"

Demikian pula hadits sesudahnya - yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhari - dimana Aisyah mengatakan:

"Seorang wanita menahan tangannya"

Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan bai'at dengan tangan mereka.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: "Untuk yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai'at meskipun tidak sampai berjabat tangan... Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum bersentuhan... Atau bai'at itu terjadi dengan menggunakan lapis tangan.

Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya'bi bahwa Nabi saw. ketika membai'at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata,

"Aku tidak berjabat dengan wanita."

Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi saw. memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga memasukkan tangannya bersama beliau.

Ibnu Hajar berkata: "Dan boleh jadi berulang-ulang, yakni peristiwa bai'at itu terjadi lebih dari satu kali, diantaranya ialah bai'at yang terjadi di mana beliau tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan lapis maupun tidak, beliau membai'at hanya dengan perkataan saja, dan inilah yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada kesempatan yang lain beliau tidak berjabat tangan dengan wanita dengan menggunakan lapis, dan inilah yang diriwayatkan oleh asy-Sya'bi."

Diantaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan kedalam bejana. Dan ada lagi dalam bentuk seperti yang ditunjukkan oleh perkataan Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.

Diantara alasan yang memperkuat kemungkinan berulang-ulangnya bai'at itu ialah bahwa Aisyah membicarakan bai'at wanita-wanita mukminah yang berhijrah setelah terjadinya peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, sedangkan Ummu Athiyah - secara lahiriah - membicarakan yang lebih umum daripada itu dan meliputi bai'at wanita mukminah secara umum, termasuk didalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu Athiyah si perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari memasukkan hadits Aisyah di bawah bab "Idzaa Jaa aka al-Mu'minaat Muhaajiraat," sedangkan hadits Ummu Athiyah dimasukkan dalam bab "Idzaa Jaa aka al- Mu'minaat Yubaayi'naka."

Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang dijadikan acuan oleh kebanyakan orang yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan - yaitu bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita - belumlah disepakati. Tidak seperti sangkaan orang-orang yang tidak merujuk kepada sumber-sumber aslinya. Masalah ini bahkan masih diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan.

Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Ma'qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau bersabda:

"Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya."5

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pengambilan hadits di atas sebagai dalil:

1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas akan kesahihan hadits tersebut, hanya orang-orang seperti al-Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan, "Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau perawi-perawi sahih."

Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan kesahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha') atau terdapat 'illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.

2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti Al-Qur'anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang sahih. Maka bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan kesahihannya?

3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka saya dapati petunjuknya tidak jelas. Kalimat "menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya" itu tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (massa - yamassu - mass: menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar'iyah seperti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:

a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis (jima') sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah: "Laamastum an-Nisat" (Kamu menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, "Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur'an dipakai sebagai kiasan untuk jima' (hubungan seksual). Secara umum, ayat-ayat Al-Qur'an yang menggunakan kata al-mass menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman Allah yang diucapkan Maryam:

"Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun ..." (Ali Imran:47)

"Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka..." (al-Baqarah: 237)

Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw. mendekati istri-istrinya tanpa menyentuhnya ....

b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan dibawah kategori jima', seperti mencium, memeluk, merangkul, dan lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima' (hubungan seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam menafsirkan makna kata mulaamasah.

Al-Hakim mengatakan dalam "Kitab ath-Thaharah" dalam al-Mustadrak 'al a ash-Shahihaini sebagai berikut :

Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang sahih yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan) dibawah jima':

(1) Diantaranya hadits Abu Hurairah:

"Tangan, zinanya ialah menyentuh..."

(2) Hadits Ibnu Abbas:

"Barangkali engkau menyentuhnya...?"

(3) Hadits lbnu Mas'ud:

"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)..."6

Al-Hakim berkata, "Dan masih ada beberapa hadits sahih pada mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya ..." Kemudian al-Hakim menyebutkan diantaranya:

(4) Dari Aisyah, ia berkata:

"Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah saw. mengelilingi kami semua - yakni istri-istrinya - lalu beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya dibawah jima'. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di situ."

(5) Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Au laamastum an-nisa" (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan dibawah jima', dan untuk ini wajib wudhu."

(6) Dan dari Umar, ia berkata, "Sesungguhnya mencium itu termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah karenanya."7

Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman Allah, "au laamastum an-nisa'" (atau kamu menyentuh wanita).

Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal "mulaamasah" atau "al-lams" dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.

Diantara yang beliau katakan mengenai masalah ini seperti berikut:

Adapun menggantungkan batalnya wudhu dengan menyentuh semata-mata (persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal ini bertentangan dengan ushul, bertentangan dengan ijma' sahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang berpendapat begitu.

Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah (atau jika kamu menyentuh wanita ...) itu dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau mencium dan sebagainya - seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan lainnya - maka sudah dimengerti bahwa ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan bersyahwat, seperti firman Allah dalam ayat i'tikaf: "... Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu sedang i'tikaf dalam masjid..." (al-Baqarah: 187)

Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i'tikaf dengan tidak bersyahwat itu tidak diharamkan, berbeda dengan memeluk yang disertai syahwat.

Demikian pula firman Allah: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka ..." (al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat sebelumnya disebutkan: "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka ..." (al-Baqarah: 236).

Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak wajib iddah dan tidak wajib membayar mahar secara utuh serta tidak menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan ulama.

Barangsiapa menganggap bahwa lafal au laamastum an-nisa' mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan bersyahwat, maka ia telah menyimpang dari bahasa Al-Qur'an, bahkan menyimpang dari bahasa manusia sebagaimana yang sudah dikenal. Sebab, jika disebutkan lafal al-mass (menyentuh) yang diiringi dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat, sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath'u (yang asal artinya "menginjak") yang diikuti dengan kata-kata laki-laki dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang dimaksud ialahal-wath'u dengan kemaluan (yakni bersetubuh), bukan menginjak dengan kaki."8

Di tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au laamastum annisa'. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima'. dan mereka berkata, "Allah itu Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang Ia kehendaki."

Beliau berkata, "Ini yang lebih tepat diantara kedua pendapat tersebut."

Bangsa Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia berarti jima' atau tindakan dibawah jima'. Bangsa Arab mengatakan, yang dimaksud adalah jima'. Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan) berkata: yang dimaksud ialah tindakan di bawah jima' (pra-hubungan biologis). Lalu mereka meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab dan menyalahkan Mawali.9

Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui bahwa kata-kata al-mass atau al-lams ketika digunakan dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan dengan semata-mata bersentuhan kulit biasa, tetapi yang dimaksud ialah mungkin jima' (hubungan seks) atau pendahuluannya seperti mencium, memeluk, dan sebagainya yang merupakan sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.

Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih dari Rasulullah saw., niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi saw. itu adalah tasyri' dan untuk diteladani:

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw. itu suri teladan yang baik bagimu..." (al-Ahzab: 21)

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada "Kitab al-Adab" dari Anas bin Malik r.a., ia berkata:

"Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka."

Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:

"Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya perg ke mana ia suka."

Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari:

"Yang dimaksud dengan memegang tangan disini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu', karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-imaa' (budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa'at (kemana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan dengan "mengambil/memegang tangannya" itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya.

Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu'nya Rasulullah saw. dan betapa bersihnya beliau dari sikap sombong."10

Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya yang berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima, karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir. Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor yang mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan "maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa beliau pergi kemana saja ia suka" menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir ini.

Lebih banyak dan lebih mengena lagi apa yang diriwayatkan dalam Shahihain dan kitab-kitab Sunan dari Anas "bahwa Nabi saw. tidur siang hari di rumah bibi Anas yang bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, danbeliau tidur di sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu ..."

Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, "Hadits ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya.

Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani tamunya dengan membersihkan kutu kepalanya. Tetapi hal ini menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil Barr berkata, "Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui Rasulullah saw. (waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga masing-masing berkedudukan "sebagai ibu susuan" atau bibi susuan bagi Rasulullah saw.. Karena itu, beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang layak dilakukan oleh mahram."

Selanjutnya Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani Najjar ...

Yang lain lagi berkata, "Nabi saw. itu maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau mampu mengendalikan hasratnya terhadap istrinya, maka betapa lagi terhadap wanita lain mengenai hal-hal yang beliau disucikan daripadanya? Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan kotor, dan ini termasuk kekhususan beliau."

Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi 'Iyadh dengan argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya kemaksuman beliau memang dapat diterima, tetapi pada dasarnya tidak ada kekhususan dan boleh meneladani beliau dalam semua tindakan beliau, sehingga ada dalil yang menunjukkan kekhususannya.

Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama, yaitu anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara Nabi saw. dengan Ummu Haram. Beliau berkata:

"Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi saw. terhadap Sa'ad bin Abi Waqash, "Ini pamanku" karena Sa'ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa'ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun susuan."

Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, "Apabila sudah tetap yang demikian, maka terdapat riwayat dalam ash-Shahlh yang menceritakan bahwa Nabi saw. tidak pernah masuk ke tempat wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu Sulaim. Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau menjawab, 'Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam peperangan bersama saya.' Yakni Haram bin Milhan, yang terbunuh pada waktu peperangan Bi'r Ma'unah."

Apabila hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk Ummu Sulaim, maka demikian pula halnya dengan Ummu Haram tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara dan hidup didalam satu rumah, sedangkan Haram bin Milhan adalah saudara mereka berdua. Maka 'illat (hukumnya) adalah sama diantara keduanya, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar.

Dan ditambahkan pula kepada 'illat tersebut bahwa Ummu Sulaim adalah ibu Anas, pelayan Nabi saw., sedangkan telah berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan, yang dilayani, serta keluarganya, serta ditiadakan kekhawatiran yang terjadi diantara orang-orang luar.

Kemudian ad-Dimyati berkata, "Tetapi hadits itu tidak menunjukkan terjadinya khalwat antara Nabi saw. dengan Ummu Haram, kemungkinan pada waktu itu disertai oleh anak, pembantu, suami, atau pendamping."

Ibnu Hajar berkata, "Ini merupakan kemungkinan yang kuat,tetapi masih belum dapat menghilangkan kemusykilan dariasalnya, karena masih adanya mulamasah (persentuhan) dalammembersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di pangkuan."

Al-Hafizh berkata, "Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini ialah dengan menganggapnya sebagai kekhususan, dan hal ini tidak dapat ditolak oleh keberadaanya yang tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, karena dalil mengenai hal ini sudah jelas."11

Tetapi saya tidak tahu mana dalilnya ini, samar-samar ataukah jelas?

Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara Nabi saw. dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.

Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu saya tekankan:

Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki danperempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertaidengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkanterjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwatdan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apalagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabat tangan tidakdiragukan lagi.

Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi - yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah - meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.

Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.

Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. - tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).

Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah - yang komitmen pada agamanya - ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.

Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya, dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk berijtihad.

Wallahu a'lam.

Catatan kaki:

1 Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155. ^
2 Ibid., 4: 156-157 ^
3 Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki dengan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur'an dan Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.) ^
4 HR Bukhari dalam sahihnya, dalam "Kitab Tafsir Surat al-Mumtahanah," Bab "Idzaa Jaa'aka al-Mu'minaatu Muhaajiraat." ^
5 Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: "Perawi-perawi Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi yang sahih." ^
6 Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan dalam sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. Lalu dia mengatakan bahwa dia telah berbuat sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat (yang artinya), "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk..." (Hud: 114) (HR Muslim dengan lafal ini dalam "Kitab at-Taubah," nomor 40) ^
7 Lihat, al-Mustadrak, 1: 135. ^
8 Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid 21, hlm. 223-224. ^
9 Ibid. ^
10 Fathul Bari, juz 13. ^
11 Fathul Bari 13: 230-231. dengan beberapa perubahan susunan redaksional ^

By Badroe with No comments

BERANI LAWAN KAMI???(Fitna)

Islam kembali digoncangkan. Ulah seorang anggota Parlemen Belanda atheis dari kelompok konservatif Partai untuk Kebebasan, Geert Wilders, dengan blak-blakan menghina Islam dan dukungannya terhadap pembatasan imigrasi. Bahkan dia menyatakan Islam dan Alquran adalah ancaman jangka panjang bagi Belanda dan dunia, dan film FITNA, menurut dia, adalah peringatan terakhir.

Film ini menghasilkan ketegangan dengan ditunjukkan aksi protes muslim di seluruh penjuru dunia. Semua geram, marah dan benci, ketika Alloh SWT sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dihina dan dilecehkan begitu juga dengan keberadaan Muhammad kekasih Alloh yang dihina sebagai sosok yang cinta kekerasan

Film dokumenter singkat yang menampilakan berbagai peristiwa naas dunia dengan memojokkan Islam tersebut merupakan film yang kontoversial. Pemikiran dangkal sosok Widers yang tidak paham akan ajaran Islam adalah kesalahan besar terkairt menafsirkan ayat Qur’an dengan pemikiran dangkalnya.

Film tidak layak tayang tersebut dipaksakan Wilders untuk dapat dilihat semua manusia. Alhasil, dengan penolakan-penolakan berbagai stasiun televisi Belanda, dia mengalihkan penayangannya mealui internet. Melalui media youtube, film tersebut resmi diposting 27 Maret 2008, bahkan ’FITNA’ menjadi film teratas yang ada di LiveLeak.com. Film tersebut diposting dalam dua bahasa, Inggris dan Belanda.

Fitnah GEERT WILDERS

Sebuah peringatan “This Film Contains very shock images”mengawali film singkat ini dengan diikuti sebuah gambar yang memperlihatkan tangan seseorang yang membuka Qur’an yang melihatkan karikatur kontroversial menghina Nabi Muhammad, yang pada 2006 dan awal tahun ini memicu kemarahan umat Islam.

Di bagian lain film ini, muncul gambar serangan 11 September 2001 terhadap menara kembar World Trade Center di New York. Video termasuk gambar-gambar serangan teror, korban yang berdarah-darah, pemenggalan kepala sandera, serta eksekusi terhadap perempuan berjilbab ditunjukkan pada film singkat ini.

Selain itu juga diperlihatkan persiapan eksekusi oleh kalangan Muslim. Kemudian muncullah tayangan panjang kepala berita berbagai surat kabar; tidak hanya mengenai pembunuhan sineas Belanda Theo van Gogh, tetapi juga ancaman terhadap penulis Inggris keturunan India, Salman Rushdie, menyusul terbitnya buku Ayat-Ayat Setan.

Geert Wilders sendiri juga tidak ketinggalan. Dalam film itu ditunjukkan headline bertuliskan, ‘Jihad terhadap Wilders' terpampang besar. Sementara itu ditampilkan juga beberapa orang imam yang mengeluarkan ucapan-ucapan kecaman terhadap orang Yahudi dan kalangan kaum homoseks.

Film Fitna kemudian menyoroti apa yang disebutnya bahaya Islam terhadap Negeri Belanda. Gambar-gambar mesjid disusul dengan tulisan, "salam dari Belanda." Ditampilkan pula angka-angka meningkatnya jumlah orang Muslim di Belanda.

Dalam bagian lain, film ini memasukkan serangkaian halaman utama surat kabar yang mengingatkan Eropa kini berada di bawah ancaman kepercayaan Islam dan praktik memusuhi demokrasi, serta adanya sejumlah Muslim yang ingin mendirikan negara Islam di Eropa.

Film ini ditutup dengan pesan bergulung: "Pemerintah meminta Anda menghormati Islam, tapi Islam tidak menghormati Anda" dan "Pada 1945, Nazi dikalahkan di Eropa. Pada 1989, Komunisme dikalahkan di Eropa. Sekarang ideologi Islam harus dikalahkan.

Akhirnya terlihat gambar tangan yang membuka halaman kitab suci Al-Quran. Lalu tidak terlihat apa-apa, hanya gambar hitam. Tapi terdengar suara kertas yang disobek. Kemudian muncul tulisan bahwa yang disobek itu adalah buku telpon. "Bukanlah saya, melainkan orang Muslim yang harus merobek ayat-ayat yang mengandung kebencian dalam Al-Quran."

Lalu Wilders melanjutkan peringatannya dengan kata-kata, "Islam ingin menguasai, menundukkan dan bertekat menghancurkan kebudayaan Barat. Tayangan terakhir kembali memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad dengan bom pada sorbannya. Penyulut bom itu hampir terbakar habis, lalu terlihat ledakan dan kilat sebagai akhirnya.

Ambisi ”Mereka”

Memang tak panjang durasinya. Namun sepintas, ada sebuah ketakutan seorang Wilders-dan mungkin sebagaian orang Barat dan Eropa-terhadap kemungkinan pengaruh berkembangnya Islam di beberapa benua.

Teori-teori yang menggambarkan bahwa peradaban Barat adalah peradaban yang ingin mereka terapkan di berbagai belahan dunia:

1) Fukuyama dalam Teori Akhir Sejarah

”Manusia peradaban Barat adalah manusia terakhir karena peradaban Barat adalah peradaban terakhir. Perang pemikiran telah berakhir dan demokrasi Liberal adalah pemenangnya. Fundamentalisme (Islam) lebih berbahaya dari komunisme.” (newsweek, desember 2001)

2) Samuel Huntington dalam teori Benturan Peradaban

”Akan muncul konflik yang paling signifikan di masa depan akibat akumulasi arogansi Barat, fanatisme Islam dan penegasan jati diri Cina. Peradaban Barat merupakan peradaban pertama yang melakukan modernisme. Peradaban Barat merupakan perintis menuju kebudayaan Pembaruan. Kebudayaan Barat akan menjadi kebudayaan internasional dan kebudayaan umum di dunia yang menuju tatanan dunia baru.”

Selain itu inilah pernyataan resmi para pejabat Barat yang terang-terangan memusuhi Islam :

1) “Rusia dan Amerika harus mengadakan kerja sama yang efektif untuk memukul fundamentalisme Islam”. Nixon, Presiden Amerika, 1985.

2) “Front baru yang harus dihadapi Barat adalah dunia Arab dan Islam sebagai musuh baru bagi Barat”. Henry Kissinger, Menteri Luar Negeri Amerika, 1990.

3) “Musuh yang tersisa setelah bahaya Merah (Komunisme) berhasil dihabisi adalah bahaya Hijau (Islam)”. Margaret Thatcher, Perdana Menteri Inggris, 1989.

4) “Islam merupakan ancaman bagi masa depan Barat”. Jean Claude Parrow, Pejabat Urusan Imigrasi Prancis.

5) “Kami dahulu membantunya karena dia memerangi fundamentalisme Islam di Iran yang merupakan ancaman terbesar bagi kepentingan kita”. Francois Mitterand, Presiden Prancis, berargumentasi terhadap bantuannya pada Presiden Irak Saddam Husein.

6) Konfrontasi Barat setelah komunis tumbang adalah dengan dunia Islam. Dan untuk menghindari konfrontasi tersebut adalah dengan : “Meratakan prototipe Barat ke seluruh dunia dan kaum muslim menerimanya. Kalau kita gagal dalam menyebarkan secara merata prototipe Barat itu, dunia akan menjadi tempat yang sangat berbahaya”. (Gianni De Michelis , Perdana Menteri Uni Eropa, Amerika Newsweek Juli 1993)

7) Margrethe II, Ratu Denmark. Berkomentar tentang Islam yang ditulis dalam Biografinya.

“Mari kita tunjukkan perlawanan kita kepada Islam. Selama beberapa tahun terakhir ini, kita terus ditantang Islam, baik secara lokal maupun global. Ini adalah sebuah tantangan yang harus kita tangani dengan serius. Kita harus menunjukkan perlawanan kita kepada Islam dan pada saatnya,kita juga harus siap menanggung resiko mendapat sebutan yang tidak mengenakkan karena kita tidak menunjukkan sikap toleran.” Republika, Internasional, Selasa 7 Februari 2006

8 ) Howard : “Muslim tidak bisa berbaur”

Perdana Menteri Australia, John Howard melontarkan komentar tajam mengenai perilaku umat Islam di negaranya. Dalam pandangan Howard, ada sebagian Muslim Australia yang berperilaku ekstrem dan hal ini membuat mereka sulit menyatu atau berbaur dengan komunitas lainnya di Australia. Menurut Howard, perilaku ekstrem komunitas Muslim ini biasanya berasal dari pandangan yang ekstrem mengenai Jihad. Hal-hal seperti ini akan menjadi permasalahan tersendiri bagi Pemerintah dan masyarakat Australia. Republika, Internasional, Selasa 7 Februari 2006

9) Bush ??? Oh, itu mah sudah jelas, kita tidak perlu membahasnya, karena Anda lebih tau tentang permusuhannya terhadap Islam.

Apa yang Harus Kita Lakukan???

Kebencian mereka bukanlah hanya seseaat. Mereka akan senantiasa memusuh kita hingga kita mengikuti jalan mereka. Seperti yang Alloh firmankan dalam Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 120 ” Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.
Permusuhan yang mereka ajukan kepada Islam hanyalah berlandaskan kekuatan yang berusaha dengan menguasai dunia. Mereka tidak akan pernah rela bila dien ini, Islam, dapat memasyarakat dengan dunia. Namun yakinlah bahwa Islam adalah agama yang syamil.


Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (An-nahl :125)


"Cobalah lawan kami hingga perjuanganmu terhenti, cobalah musuhi kami hingga kau tak ada kuasa untuk memusuhi. Karena sesunggguhnaya perjuangan kami tidak akan terhenti, walaupun darah mengalir dan hingga nyawa terlepas dari raga kami. Karena di sana ada suguhan istimewa yang telah disediakan kepada kami, Jannah-Nya

By Badroe with No comments

Tentang Blog ini


Assalamu'alaikum Warohmatulllohi Wabarokatuh


Syukron jazakumulloh atas kunjungan Antum di rumah ini. Sebuah rumah yang dihiasai dengan pernak-pernik perjalanan kehidupan Ahmad Alfikri di jalan yang pernuh dengan kasih sayang Alloh, jalan yang akan menghantarkan kembali kepada rumah yang dulu pernah Nabi Adam tempati, jannahNya.

Wassalamu'alaikum Warohmatulllohi Wabarokatuh

By Badroe with No comments

 
google.com, pub-0086328622447233, DIRECT, f08c47fec0942fa0