Ucapan Selamat Bagi Orang Tua yang Baru Melahirkan

Alhamdulaillah, dari sebuah blog temen yang menjelaskan bagaimana do'a terhadap temen kita yang baru melahirkan. Di blog tersebut dijelaskan bahwa dalam buku Menyambut si Buah Hati yang ditulis oleh Salim Rasyid As-Sibli dan Muhammad Khalifah (terbitan Ash-Shaf Media, halaman 30-31), penulis buku tersebut mengatakan,
“Tidak terdapat satu hadits pun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ucapan selamat, dan tidak ada sesuatu pun kecuali atsar yang diriwayatkan dari para tabi’in. Di antaranya dari Hasan Al-Bashri rahimahullah, bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Bagaimana cara saya mengucapkan ucapan selamat (kelahiran)?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah olehmu,

جَعَلَ اللهُ مُبَارَكًا عَلَيْكَ وَ عَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

“Ja’alallahu mubaarokan ‘alaika wa ‘ala ummati Muhammadin”
Artinya, “Semoga Allah menjadikannya anak yang diberkahi atasmu dan atas umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”
(Atsar ini hasan, dikeluarkan oleh Imam Thabrani).” 
Sebenarnya masih ada atsar lain dari Ayyub As-Sikhtiyani, namun karena lafazhnya sama, kita cukupkan dengan atsar Hasan Al-Bashri. Untuk melihat atsar tersebut serta takhrij atsar yang lebih komplit bisa dilihat di buku terjemahannya.
Kemudian, penulis juga berkata,
“Atsar-atsar seperti ini jauh lebih baik daripada apa yang kami lihat berupa ucapan yang diada-adakan yang bisa digunakan pada hari ini. Dan tidak seorang pun di antara ahlul ilmi yang memperbolehkannya. Akan tetapi bersamaan dengan itu kami tidak melazimkan (membiasakan) memberi ucapan selamat seperti di atas, layaknya amalan itu disebutkan oleh sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak juga kami menjadikannya seperti dzikir-dzikir yang lain yang telah pasti di dalam as-sunnah. Maka barangsiapa yang mengucapkannya pada suatu kali, tidak mengapa. Adapun yang tidak mengucapkannya maka tidak ada ruginya.” 

By Badroe with No comments

8 (Delapan) Penyebab Batalnya Wudhu Seseorang

Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari shalat seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan membatalkan pula shalat seseorang sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali
Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena adanya sandaran dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan telah terjadinya ijma’ di antara mereka tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi.
Pembatal wudhu yang disepakati
1. Kencing (buang air kecil/BAK)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 135)
Hadits ini menunjukkan bahwa hadats kecil ataupun besar merupakan pembatal wudhu dan shalat seorang, dan kencing termasuk hadats kecil.
2.Buang Air Besar
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan perkara yang mengharuskan wudhu (bila seseorang hendak mengerjakan shalat):
أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغآئِطِ
Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar…” (Al-Maidah: 6)
Dengan demikian bila seseorang buang air besar (BAB) batallah wudhunya.
3. Keluar angin dari dubur (kentut)
Angin yang keluar dari dubur (kentut) membatalkan wudhu, sehingga bila seseorang shalat lalu kentut, maka ia harus membatalkan shalatnya dan berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal.
Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim Al-Mazini radhiallahu ‘anhu berkata: “Diadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang menyangka dirinya kentut ketika ia sedang mengerjakan shalat. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendengar bunyi kentut (angin) tersebut atau mencium baunya.” (HR. Al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 135)
Mendengar penyampaian Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ini, berkatalah seorang lelaki dari Hadhramaut: “Seperti apa hadats itu wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Angin yang keluar dari dubur (kentut) yang bunyi maupun yang tidak bunyi.”
Sementara perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, beliau berkata: “Abu Hurairah menjelaskan tentang hadats dengan perkara yang paling khusus (yaitu angin dari dubur) sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adalah hadats yang paling ringan sementara di sana ada hadats yang lebih berat darinya. Dan juga karena angin ini terkadang banyak keluar di saat seseorang melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain.” (Fathul Bari, 1/296)
Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dengan keluarnya hadats, sama saja baik keluarnya dengan keinginan ataupun terpaksa. (Fathul Bari, 1/269)
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: Salma, maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau istrinya Abu Rafi‘ maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengadukan Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Rafi’: “Ada apa engkau dengan Salma, wahai Abu Rafi‘?” Abu Rafi‘ menjawab: “Ia menyakitiku, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Dengan apa engkau menyakitinya wahai Salma?” Kata Salma: “Ya Rasulullah, aku tidak menyakitinya dengan sesuatupun, akan tetapi ia berhadats dalam keadaan ia sedang shalat, maka kukatakan padanya: ‘Wahai Abu Rafi‘, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin, apabila salah seorang dari mereka kentut, ia harus berwudhu.’ Abu Rafi‘ pun bangkit lalu memukulku.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa seraya berkata: “Wahai Abu Rafi‘, sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” (HR. Ahmad 6/272, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/521)
Adapun orang yang terus menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser (kencing terus menerus) (Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah t, 1/282) atau orang yang kentut terus menerus atau buang air besar terus menerus maka ia diberi udzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/221)
4. Keluar Madzi
Keluarnya madzi termasuk pembatal wudhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ali berkata: “Aku seorang yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk bertanya langsung kepada Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena keberadaan putrinya (Fathimah radhiallahu ‘anha) yang menjadi istriku. Maka akupun meminta Miqdad ibnul Aswad radhiallahu ‘anhu untuk menanyakannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab:
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
5. Keluar Wadi
Keberadaan wadi sama halnya dengan madzi atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu seseorang.
6. Keluar Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita adalah hadats besar yang karenanya membatalkan wudhu wanita yang bersangkutan. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah di atas tentang batalnya wudhu karena hadats. Dan selama masih keluar darah haid dan nifas ini diharamkan baginya mengerjakan shalat, puasa dan bersenggama dengan suaminya sampai ia suci.
Dikecualikan bila darah dari kemaluan itu keluar terus menerus di luar waktu kebiasaan haid dan bukan disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang menderita istihadhah, karena wanita yang istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Bila si wanita yang menderita istihadhah itu ingin berwudhu untuk shalat hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.” (Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa, hal. 50)
7. Keluarnya Mani
Seseorang yang keluar maninya wajib baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu, karena dengan keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/ janabah yang berarti dia telah hadats besar. Berbeda dengan kencing, BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang merupakan hadats kecil sehingga dicukupkan dengan wudhu.
8. Jima’ (senggama)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Apabila seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia bersungguh-sungguh padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah wajib baginya untuk mandi (janabah).” (HR. Al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
Sekalipun ia tidak keluar mani.”
Dari hadits di atas kita pahami bila jima‘ (senggama) sekalipun tidak sampai keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi, sehingga jima‘ perkara yang membatalkan wudhu.
Pembatal wudhu yang diperselisihkan
Dalam masalah fiqhiyyah baik itu fiqh ibadah ataupun fiqh muamalah sering sekali kita dapati perselisihan di antara ahlul ilmi. Hal ini disebabkan tersamarnya dalil yang jelas dalam pengetahuan mereka, baik dari Al-Qur’an ataupun dari hadits dan karena satu keadaan dimana masing-masing mereka harus berijtihad terhadap permasalahan yang ada, sehingga timbullah beragam pandangan. Permasalahan ini sebetulnya bukan permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati mereka berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman setelahnya dari kalangan para imam. Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya.
Demikianlah yang ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yang diperselisihkan di sini, yang mana mungkin penulis berbeda pandangan dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca, sehingga bila didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya dengan tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah ma’ruf di kalangan ahlul ilmi salafus shalih. Mungkin penulis memberikan contoh waqi‘iyyah (kenyataan) yang penulis sendiri mengalaminya (yang terkenang di sisi penulis). Suatu ketika penulis shalat berdampingan dalam satu shaf dengan guru kami Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil rahimahullah. Pada waktu itu penulis berpandangan menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud karena memilih pendapat tahrik (menggerak-gerakkan jari) sesuai dengan pendapat yang ma’ruf. Sementara guru kami adalah orang yang sangat keras melemahkan hadits dalam masalah tahrik ini dan memandangnya syadz (ganjil). Namun selesai shalat beliau rahimahullah tidak memaksakan pendapatnya kepada penulis dalam keadaan beliau berkuasa untuk memaksa dan melakukan penekanan. Bahkan yang ada dalam berbagai majelis beliau berbangga dengan keberadaan murid-muridnya yang tidak taqlid (mengikut tanpa dalil) kepada beliau tapi berpegang dengan dalil sekalipun harus berbeda pandangan dengan beliau rahimahullah rahmatan wasi‘atan.
1. Menyentuh wanita
Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ
Atau kalian menyentuh wanita …” (An-Nisa: 43)
Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, Al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/ umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat. Abu ‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir Asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu.
Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu.
Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al-Qur’an sendiri1 dan juga dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang dimaukan (oleh ayat Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini) adalah jima’, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna ayat ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).
Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/410)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202)
Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya:
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنْتُ أَناَمُ بَيْنَ يَدَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا
Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)
Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengabarkan:
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486)
2. Muntah
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan: “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268). Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2
Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:
- Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59)
- Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234). Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:
1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘i.
3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama.
4. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112)
Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌ فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ…
Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men-dha’if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36)
3. Darah yang keluar dari tubuh
Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ah, An-Nashir, Malik dan Asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)
Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara mu‘allaq dan secara maushul oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)
Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/ penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
1 Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab: 49)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’.
2 Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy-Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih (hal. 111)
3 Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang diperselisihkan ahlul ilmi sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu‘ (2/63).
4 Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)

Dikutip dari: http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/07/29/8-delapan-penyebab-batalnya-wudhu-seseorang/#more-926

By Badroe with No comments

Puasa Sunnah Syawal

Puasa Seperti Setahun Penuh
Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164). Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalamIrwa’ul Gholil). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”
Dalam hadits tersebut diterangkan, bahwa pahala orang yang berpuasa Ramadhan dan enam hari di bulan Syawwal sama pahala dengan puasa setahun. Karena satu pahala kebaikan nilainya sama dengan sepuluh kali kebaikan (QS. Al-An' am:160). Jika satu kebaikan dihitung sepuluh pahala, berarti puasa Ramadhan selama satu bulan dihitung sepuluh bulan. Dan puasa enam hari di bulan Syawwal dihitung dua bulan. Jadi total jumlahnya adalah satu tahun.

Waktu Puasa Syawal
Puasa syawal ini dimulai saat tanggal 2 syawal, karena puasa pada tanggal 1 syawal merupakan salah satu waktu yang diharamkan untuk berpuasa. Umar r.a. berkata : Dua hari ini Rasul Saw. melarang berpuasa yakni puasa di hari Idul Fitri dan hari dimana kamu makan dan ibadah qurban (H.R.Muslim). Rentang waktu untuk melaksanakan puasa syawal dapat dilakukan selama bulan syawal, baik di awal syawal (mulai tanggal 2 syawal), pertengahan hingga akhir bulan syawal.

Bayar Hutang (qodho') Puasa atau Puasa Syawal terlebih dahulu?
Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah.
Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100).

Pelaksanaan Puasa Syawal Bolehkan tidak Berurutan?
Imam Nawawi Rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim 8/328: “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”. Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman,“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48). Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.

Berbagai sumber

By Badroe with No comments

Ketika Hari Raya

Definisi ‘Ied

Kata “Ied” menurut bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang kembali berulang-ulang, baik dari sisi waktu atau tempatnya. Kata ini berasal dari kata “Al ‘Aud” yang berarti kembali dan berulang. Dinamakan “Al ‘Ied” karena pada hari tersebut Alloh memiliki berbagai macam kebaikan yang diberikan kembali untuk hamba-hamba-Nya, yaitu bolehnya makan dan minum setelah sebulan dilarang darinya, zakat fithri, penyempurnaan haji dengan thowaf, dan penyembelihan daging kurban, dan lain sebagainya. Dan terdapat kebahagiaan, kegembiraan, dan semangat baru dengan berulangnya berbagai kebaikan ini. (Ahkamul ‘Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
Perlu diperhatikan, saat ini telah menyebar di kalangan masyarakat, bahwa makna “Iedul Fitri” adalah kembali kepada fitroh (suci) karena dosa-dosa kita telah terhapus. Hal ini kurang tepat, baik secara tinjauan bahasa maupun istilah syar’i. Kesalahan dari sisi bahasa, apabila makna “Iedul Fitri” demikian, seharusnya namanya “Iedul Fithroh” (bukan ‘Iedul Fitri). Adapun dari sisi syar’i, terdapat hadits yang menerangkan bahwa Iedul Fitri adalah hari dimana kaum muslimin kembali berbuka puasa.

Tuntunan Nabi Saat Hari Raya
Mandi.
Pada hari ‘Id, disunnahkan untuk mandi. Karena pada hari tersebut kaum muslimin akan berkumpul, maka disunnahkan mandi seperti pada hari Jum’at. Namun, apabila seseorang hanya berwudhu’ saja, maka sah baginya. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 3/257). Dan kaifiyatnya seperti mandi janabat.
Nafi’ menceritakan, dahulu, pada ‘Idul Fithri, Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma mandi sebelum berangkat ke tanah lapang. [Diriwayatkan Imam Malik dalam Al Muwaththa’, 1/177].
Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah berkata,”Sunnah pada hari ‘Idul Fithri ada tiga. (Yaitu): berjalan kaki menuju tanah lapang, makan sebelum keluar rumah dan mandi. [Irwa’ul Ghalil, 2/104].


Makan di Hari Raya: Disunnahkan makan saat ‘Iedul Fitri sebelum melaksanakan sholat dan tidak makan saat ‘Iedul Adha sampai kembali dari sholat dan makan dari daging sembelihan kurbannya. Imam Al Muhallab menjelaskan bahwa hikmah makan sebelum sholat saat ‘Iedul Fitri adalah agar tidak ada sangkaan bahwa masih ada kewajiban puasa sampai dilaksanakannya sholat ‘Iedul Fitri. Seakan-akan Rosululloh mencegah persangkaan ini. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. رواه البخاري

"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar untuk shalat ‘Idul Fithri, sehingga Beliau makan beberapa kurma". [HR Al Bukhari].

Dan dari Buraidah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَ يَوْمَ النَّحْرِ لَا يَأْكُلُ حَتَّى يَرْجِعَ
فَيَأْكُلُ مِنْ نَسِيْكَتِهِ. رواه الترمذي وابن ماجه

"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar pada hari ‘Idul Fithri, sehingga Beliau makan. Dan Beliau tidak makan pada hari ‘Idul Adh-ha, sehingga Beliau pulang ke rumah, kemudian makan dari daging kurbannya".[HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah].

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, sebelum keluar untuk shalat ‘Idul Fithri, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam makan beberapa kurma, dengan jumlah yang ganjil. Dan pada hari ‘Idul Adh-ha, Beliau tidak makan sehingga kembali dari tanah lapang, maka Beliau makan dari daging kurbannya." [Zaadul Ma’ad, 1/426].

Disunnahkan untuk membersihkan diri dan mengenakan pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ يَوْمَ الْعِيْدِ بُرْدَةً حَمْرَاءَ

"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pada hari ‘Id, Beliau mengenakan burdah warna merah". [Ash Shahihah, 1.279].
Imam Malik rahimahullah berkata,”Saya mendengar Ahlul Ilmi, mereka menganggap sunnah memakai minyak wangi dan berhias pada hari ‘Id.” [Al Mughni, 3/258].
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, ketika keluar pada shalat dua hari raya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenakan pakaian yang terindah. Beliau memiliki hullah yang dikenakannya untuk dua hari raya dan hari Jum,at. Suatu waktu, Beliau mengenakan dua pakaian hijau, dan terkadang mengenakan burdah (kain selimut warna merah)." [Zaadul Ma’ad, 1/426].
Sedangkan bagi kaum wanita, tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah, atau mengenakan minyak wangi. Dan hendaknya, mereka menjauh dari kaum lelaki agar tidak menimbulkan fitnah, sebagaimana realita yang kita lihat pada zaman sekarang.


Disunnahkan untuk menyelisihi jalan, yaitu dengan mengambil satu jalan ketika berangkat menuju shalat ‘Id, dan melewati jalan yang lain ketika pulang dari tanah lapang.

Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ. رواه البخاري

"Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika hari ‘Id, Beliau mengambil jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang". [HR Al Bukhari di dalam Bab Al ‘Idain]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dengan berjalan kaki, dan beliau menyelisihi jalan; (yaitu) berangkat lewat satu jalan dan kembali lewat jalan yang lain". [Zaadul Ma’ad, 1/432].
Hukum mengambil jalan yang berbeda ini hanya khusus pada dua hari ‘Id. Tidak disunnahkan untuk amalan lainnya, seperti shalat Jum’ah, sebagaimana disebutkan Ibnu Dhuwaiyan di dalam kitab Manarus Sabil 1/151. Atau dalam masalah amal shalih yang lain, Imam An Nawawi menyebutkan di dalam kitab Riyadhush Shalihin, bab disunnahkannya pergi ke shalat ‘Id, menjenguk orang sakit, pergi haji, perang, mengiringi jenazah dan yang lainnya dengan mengambil jalan yang berbeda, supaya memperbanyak tempat-tempat ibadahnya.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal seperti ini tidak bisa diqiaskan. Terlebih lagi amalan-amalan tersebut ada pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak pernah dinukil bahwa Beliau mengambil jalan yang berbeda, kecuali pada dua hari ‘Id. Kita mempunyai satu kaidah yang penting bagi thalibul ilmi, segala sesuatu yang ada sebabnya pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Beliau tidak mengerjakannya, maka amalan tersebut tertolak”. Hingga Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Maka yang benar, ialah pendapat yang mengatakan, mengambil jalan yang berbeda, khusus pada dua shalat ‘Id saja, sebagaimana yang zhahir dari perkataan muallif -Al Hajjawi di dalam Zaadul Mustaqni’- karena ia tidak menyebutkan pada hari Jum’at, tetapi hanya menyebutkan pada dua hari ‘Id. Hal ini menunjukkan, bahwa dia memilih pendapat tidak disunnahkannya mengambil jalan yang berbeda, kecuali pada dua hari ’Id”. [Asy Syarhul Mumti’, 5/173-175].


Bertakbir
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ البقرة- 185

"Dan supaya kalian sempurnakan hitungan Ramadhan dan bertakbirlah karena yang telah dikaruniakan Allah kepada kalian, semoga kalian bersyukur". [Al Baqarah:185].

Waktu bertakbir dimulai setelah terlihatnya hilal bulan Syawwal, hal ini jika memungkinkan. Dan jika tidak mungkin, maka dengan datangnya berita, atau ketika terbenamnya matahari pada tanggal 30 Ramadhan. Kemudian, takbir ini hingga imam selesai dari khutbah ‘Id. Demikian menurut pendapat yang benar, diantara pendapat Ahlul Ilmi. Akan tetapi, kita tidak bertakbir ketika mendengarkan khutbah, kecuali jika mengikuti takbirnya imam. Dan ditekankan untuk bertakbir ketika keluar dari rumah menuju tanah lapang, atau ketika menunggu imam datang. [Ahkamul ‘Idain, 24].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Takbir pada hari Idul Fithri dimulai ketika terlihatnya hilal, dan berakhir dengan selesainya ‘Id. Yaitu ketika imam selesai dari khutbah, (demikian) menurut pendapat yang benar". [Majmu’ Fatawa, 24/220, 221].
Adapun sifat (shighat) takbir, dalam hal ini terdapat keluasan. Telah datang satu riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia bertakbir pada hari hari tasyriq dengan genap (dua kali) mengucapkan lafadz Allahu Akbar. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan sanadnya shahih, akan tetapi disebutkan di lafadz yang lain dengan tiga kali.

اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله , اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, وَللهِ الْحَمْدُ

Tidak selayaknya bertakbir secara jama’i, yaitu berkumpul sekelompok orang untuk melafadzkan dengan satu suara, atau satu orang memberi komando kemudian diikuti sekelompok orang tersebut. Karena, amalan seperti ini tidak pernah dinukil dari Salaf. Yang sunnah, setiap orang bertakbir sendiri-sendiri. Seperti ini pula pada setiap dzikir, atau ketika memanjatkan do’a-do’a yang masyru’ pada setiap waktu. [Ahkamul ‘Idain, Ath Thayyar, hlm. 30].
Syaikh Al Albani rahimahullah berkata: "Patut untuk diberi peringatan pada saat sekarang ini, bahwa mengeraskan suara ketika bertakbir tidak disyari’atkan secara berjama’ah dengan satu suara, sebagaimana yang dikerjakan oleh sebagian orang. Demikian pula pada setiap dzikir yang dibaca dengan keras atau tidak, maka tidak disyari’atkan untuk berjama’i. Hendaknya kita waspada terhadap masalah ini" [Silsilah Al Ahadits Shahihah, 1/121].

Diperbolehkan saling mengucapkan selamat tatkala ‘Iedul Fitri dengan “taqobbalalloohu minnaa wa minkum” (Semoga Alloh menerima amal kita dan amal kalian) atau dengan “a’aadahulloohu ‘alainaa wa ‘alaika bil khoiroot war rohmah” (Semoga Alloh membalasnya bagi kita dan kalian dengan kebaikan dan rahmat) sebagaimana diriwayatkan dari beberapa sahabat. (Ahkamul Iedain, Dr. Abdulloh At Thoyyar – edisi Indonesia).

Hal-Hal yang Terkait Sholat Ied Secara Ringkas

  1. Dasar disyari’atkannya: QS. Al Kautsar ayat 2, dan hadits dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Aku ikut melaksanakan sholat ‘Ied bersama Rosululloh, Abu Bakar dan Umar, mereka mengerjakan sholat ‘Ied sebelum khutbah.” (HR. Buhori dan Muslim)
  2. Hukum sholat ‘Ied: Fardhu ‘Ain, menurut pendapat terkuat.
  3. Waktu sholat ‘Ied: Antara terbit matahari setinggi tombak sampai tergelincirnya matahari (waktu Dhuha), menurut kebanyakan ulama.
  4. Tempat dilaksanakannya: Disunnahkan di tanah lapang di luar perkampungan (berdasarkan perbuatan Nabi), jika terdapat udzur dibolehkan di masjid (berdasarkan perbuatan Ali bin Abi Tholib).
  5. Tata cara sholat ‘Ied: Dua roka’at berjama’ah, dengan tujuh takbir di roka’at pertama (selain takbirotul ihrom) dan lima takbir di roka’at kedua (selain takbir intiqol -takbir berpindah dari rukun yang satu ke rukun yang lain).
  6. Adzan dan iqomah pada sholat ‘Ied: Tidak ada adzan dan iqomah, atau seruan apapun sebelum dilaksanakan sholat karena tidak adanya dalil untuk hal tersebut.
  7. Khutbah pada sholat ‘Ied: Satu kali khutbah tanpa diselingi dengan duduk, menurut pendapat yang terkuat.
  8. Qodho’ sholat ‘Ied jika terluput: Tidak perlu meng-qodho’, menurut pendapat yang terkuat.

Referensi :
1. Muslim.or.id
2. Almanhaj.or.id

By Badroe with No comments

Bingkisan Istimewa Menjelang Idul Fithri


Segala puji bagi Allah atas berbagai macam nikmat yang Allah berikan. Shalawat dan salam atas suri tauladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarganya dan para pengikutnya. Kita saat ini telah berada di penghujung Ramadhan dan sebentar lagi akan memasuki hari lebaran. Dan hari inilah yang sering dinanti-nanti oleh umat Islam. Namun, sebelum memasuki hari lebaran, terlebih dahulu kita mengetahui perkara yang wajib kita tunaikan sebelum shalat ‘ied yaitu zakat fithri dan bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhari raya. Simaklah pembahasan kali ini, semoga mendapat ilmu yang bermanfaat.

SEPUTAR ZAKAT FITHRI
Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri
Di antara hikmah zakat fithri adalah untuk menyucikan hati orang yang berpuasa dari perkara yang tidak bermanfaat dan kata-kata yang kotor. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Selain itu juga, zakat fithri akan mencukupi kaum fakir dan miskin dari meminta-minta pada hari raya ‘idul fithri sehingga mereka dapat bersenang-senang dengan orang kaya pada hari tersebut dan syari’at ini juga bertujuan agar kebahagiaan ini dapat dirasakan oleh semua kalangan. (Lihat Minhajul Muslim, 23 dan Majelis Bulan Ramadhan, 382)
Hukum Zakat Fithri
Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun yang budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa.” (HR. An Nasai. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Nasa’i, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih)
Catatan: Perlu diperhatikan bahwa shogir (anak kecil) dalam hadits ini tidak termasuk di dalamnya janin. Karena ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini kurang tepat karena janin tidaklah disebut shogir dalam bahasa Arab juga secara ‘urf (anggapan orang Arab) (Lihat Shifat Shaum Nabi, 102). Namun jika ada yang mau membayarkan zakat fithri untuk janin tidaklah mengapa karena dahulu sahabat Utsman bin ‘Affan pernah mengeluarkan zakat fithri bagi janin dalam kandungan. (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 381)
Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri
Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh:
  1. Setiap muslim sedangkan orang kafir tidak wajib untuk menunaikannya, namun mereka akan dihukum di akhirat karena tidak menunaikannya.
  2. Yang mampu mengeluarkan zakat fithri. Menurut mayoritas ulama, batasannya adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang demikian berarti dia mampu dan wajib mengeluarkan zakat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ » فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ قَالَ « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ“Barangsiapa meminta dan padanya terdapat sesuatu yang mencukupinya, maka seseungguhnya dia telah mengumpulkan bara api.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran mencukupi? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Seukuran makanan yang mengenyangkan sehari-semalam.” (HR. Abu Daud, Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalamShohih Abi Daud) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/80)
Bagaimana dengan anak dan istri yang menjadi tanggungan suami, apakah perlu mengeluarkan zakat sendiri-sendiri? Menurut Imam Nawawi, kepala keluarga wajib membayar zakat fithri keluarganya. Bahkan menurut Imam Malik, Syafi’i dan mayoritas ulama wajib bagi suami untuk mengeluarkan zakat istrinya karena istri adalah tanggungan nafkah suami. (Syarh Nawawi ‘ala Muslim, VII/59). Namun menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, jika mereka mampu, sebaiknya mereka mengeluarkannya atas nama diri mereka sendiri, karena pada asalnya masing-masing mereka terkena perintah untuk menunaikannya. (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 381). Wallahu a’lam.
Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fithri ?
Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri pada saat terbenamnya matahari di malam hari raya. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fithri. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi dalam Syarh Muslim VII/58, juga dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Majlis Syahri Ramadhan. Alasannya karena zakat ini merupakan saat berbuka dari puasa Ramadhan. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan demikian (disandarkan pada kata fithri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada waktu fithri tersebut.
Misalnya adalah apabila seseorang meninggal satu menit sebelum terbenamnya matahari pada malam hari raya, maka dia tidak punya kewajiban dikeluarkan zakat fithri. Namun, jika ia meninggal satu menit setelah terbenamnya matahari maka wajib untuk mengeluarkan zakat fithri darinya. Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari maka tidak wajib dikeluarkan zakat fithri darinya, tetapi dianjurkan sebagaimana perbuatan Utsman di atas. Namun, jika bayi itu terlahir sebelum matahari terbenam, maka zakat fithri wajib untuk dikeluarkan darinya (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 385).
Macam Zakat Fithri
Benda yang dijadikan zakat fithri adalah berupa makanan pokok manusia, baik itu kurma, gandum, beras, kismis, keju, dsb dan tidak dibatasi pada kurma atau gandum saja (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 383 & Shohih Fiqh Sunnah, II/82). Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Malikiyah, Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa dan hal ini diselisihi oleh Hanabilah. Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau gandum karena ini adalah makanan pokok penduduk Madinah. Seandainya itu bukan makanan pokok mereka tetapi mereka mengkonsumsi makanan pokok lainnya, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu tidak akan membebani mereka mengeluarkan zakat fithri yang bukan makanan yang biasa mereka makan. Sebagaimana juga dalam membayar kafaroh diperintahkan seperti ini. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ
“Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (QS. Al Maidah [5] : 89). Dan zakat fithri merupakan bagian dari kafaroh. (LihatShohih Fiqh Sunnah, II/82)
Ukuran Zakat Fithri
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Umar di atas bahwa zakat fithri adalah seukuran satu sho’ kurma atau gandum. Satu sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran ‘empat cakupan penuh telapak tangan yang sedang’ sebagaimana yang disebutkan dalam Kamus Al Muhith. Dan apabila ditimbang akan mendekati ukuran 3 kg. Jadi kalau di Jawa makanan pokoknya adalah beras, maka ukuran zakat fithrinya sekitar 3 kg dan inilah yang lebih hati-hati. (Lihat pendapat Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa-nya V/92 atau Majalah Al Furqon Th. I, ed 2)
Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang ?
Perlu diketahui bahwa pakaian, tempat tidur, bejana, perabot rumah tangga, serta benda-benda lainnya selain makanan tidak dapat digunakan untuk membayar zakat fithri. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan pembayaran zakat fithri dengan makanan (sebagaimana dapat dilihat pada hadits Ibnu Abbas di atas), dan ketentuan beliau ini tidak boleh dilanggar. Oleh karena itu, tidak boleh mengganti makanan dengan uang yang seharga makanan dalam membayar zakat fithri karena ini berarti menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan alasan lainnya adalah:
  1. Selain menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyelisihi amalan shabat radhiyallahu ‘anhum yang menunaikannya dengan satu sho’ kurma atau gandum. Ingatlah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya, “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mendapat petunjuk.” (HR. Abu Daud & Tirmidzi, dia mengatakan hadits ini hasan shohih)
  2. Zakat fithri adalah suatu ibadah yang diwajibkan dari suatu jenis tertentu. Oleh sebab itu, posisi jenis barang yang dijadikan sebagai alat pembayaran zakat fithri itu tidak dapat digantikan sebagaimana waktu pelaksanaannya juga tidak dapat digantikan. Jika ada yang mengatakan bahwa menggunakan uang ‘kan lebih bermanfaat. Maka kami katakan bahwa Nabi yang mensyariatkan zakat dengan makanan tentu lebih sayang kepada orang miskin dan tentu lebih tahu mana yang lebih manfaat bagi mereka. Allah yang mensyari’atkannya pula tentu lebih tahu kemaslahatan hamba-Nya yang fakir dan miskin, tetapi Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mensyariatkan dengan uang.
Perlu diketahui pula bahwa pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah terdapat mata uang. Tetapi kok beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan sahabatnya untuk membayar dengan uang? Seandainya diperbolehkan dengan uang, lalu apa hikmahnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dengan satu sho’ gandum atau kurma? Seandainya boleh menggunakan uang, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengatakan kepada umatnya, ‘Satu sho’ gandum atau harganya.’
Terakhir, menurut mayoritas ulama fiqh tidak boleh menggunakan uang yang senilai makanan untuk membayar zakat fithri, namun yang membolehkannya adalah Abu Hanifah juga Umar bin Abdul Aziz. Imam Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa perkataan Abu Hanifah ini tertolak. Karena “Tidaklah Rabbmu itu lupa”. Seandainya zakat fithri dengan uang itu dibolehkan tentu Allah dan Rasul-Nya akan menjelaskannya. (Lihat Majalah Al Furqon Th. I, ed 2 & Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 230-231)
Penerima Zakat Fithri
Penerima zakat fithri hanya dikhususkan untuk orang miskin dan bukanlah dibagikan kepada 8 golongan penerima zakat (sebagaimana terdapat dalam surat At Taubah:60). Inilah pendapat Malikiyah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menyelisihi mayoritas ulama. Pendapat ini lebih tepat karena lebih cocok dengan tujuan disyariatkannya zakat fithri yaitu untuk memberi makan orang miskin sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas di atas, “… untuk memberikan makan orang-orang miskin.” (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/85)
Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, II/17 mengatakan bahwa berdasarkan petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamzakat fithri itu hanya dikhususkan kepada orang miskin. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membagikannya kepada 8 ashnaf (sebagaiman dalam Surat At Taubah: 60) dan beliau juga tidak pernah memerintahkan demikian dan tidak ada seorang sahabat pun dan tabi’in yang melakukannya.
Waktu Mengeluarkan Zakat Fithri
Zakat fithri disandarkan kepada kata ‘fithri (berbuka artinya tidak berpuasa lagi)’. Karena fithri inilah sebabnya, maka zakat ini dikaitkan dengan fithri tersebut dan tidak boleh didahulukan. Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat itu ada dua macam. Pertama adalah waktu utama (afdhol) yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied. Dan kedua adalah waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Umar. (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, 640 & Minhajul Muslim, 231)
Ibnu Abbas berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan untuk orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘ied, maka itu adalah zakat yang diterima. Namun, barangsiapa yang menunaikannya setelah salat ‘ied maka itu hanya sekedar shodaqoh.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Hadits ini merupakan dalil bahwa pembayaran zakat fithri setelah shalat ‘ied tidak sah karena hanya berstatus sebagaimana sedekah pada umumnya dan bukan termasuk zakat fithri (At Ta’liqot Ar Rodhiyah, I/553, ed)
Namun kewajiban ini tidak gugur di luar waktunya. Kewajiban ini harus tetap ditunaikan walaupun statusnya hanya sedekah. Abu Malik Kamal (Penulis Shohih Fiqh Sunnah) mengatakan bahwa pendapat ini merupakan kesepakatan para ulama yaitu kewajiban membayar zakat fithri tidaklah gugur apabila keluar waktunya. Hal ini masih tetap menjadi kewajiban orang yang punya kewajiban zakat karena ini adalah utang yang tidak bisa gugur kecuali dengan dilunasi dan ini adalah hak sesama anak Adam. Adapun hak Allah, apabila hak tersebut diakhirkan hingga keluar waktunya maka tidak dibolehkan dan tebusannya adalah istigfar dan bertaubat kepada-Nya. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/84).
SEPUTAR ‘IDUL FITHRI
Berhari Rayalah Bersama Pemerintah dan Mayoritas Manusia
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan ghorib). Lalu Imam Tirmidzi mengatakan: “Sebagian para ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, ‘Maksud hadits ini adalah puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)’” (LihatTamamul Minnah, I/399, Al Maktabah Al Islamiyyah)
Petunjuk Suri Tauladan Kita dalam Berhari Raya
  1. Pada saat hari Raya ‘Idul Fitri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakaian terbaik dan beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mandi sebelum shalat ‘ied.
  2. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa makan kurma -dengan bilangan ganjil tiga, lima atau tujuh- sebelum pergi melaksanakan shalat ‘ied. Tetapi pada ‘Idul Adha beliau tidak makan terlebih dahulu sampai beliau pulang, setelah itu baru memakan sebagian daging binatang sembelihannya.
  3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menunaikan shalat ‘ied di tanah lapang dan beliau berangkat ke tempat tersebut dengan berjalan kaki.
  4. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai di tanah lapang langsung menunaikan shalat tanpa ada adzan atau pun iqomah. Tidak ada juga ucapan, ‘Ash Sholatul Jami’ah’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya juga tidak menunaikan shalat sebelum dan sesudah shalat ‘ied.
  5. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membagikan zakat fithrihnya, dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha supaya kaum muslimin bisa segera menyembelih binatang kurbannya.
  6. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat ‘ied dua raka’at terlebih dahulu kemudian berkhutbah. Pada rakaat pertama beliau bertakbir 7 kali berturut-turut setelah Takbiratul Ihram, dan berhenti sebentar di antara tiap takbir. Beliau tidak mengajarkan dzikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Mas’udradhiyallahu ‘anhu berkata: “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan menyanjung Allah Ta’ala serta bershalawat.” Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah bertakbir membaca surat Al-Fatihah dan surat “Qaf” pada raka’at pertama serta surat “Al-Qamar” di raka’at kedua. Kadang-kadang beliau membaca surat “Al-A’la” pada raka’at pertama dan “Al-Ghasyiyah” pada raka’at kedua. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku’ dilanjutkan takbir 5 kali pada raka’at kedua lalu membaca Al-Fatihah dan surat.
  7. Setelah menunaikan shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah jama’ah, sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.
  8. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di tanah, dan tidak ada mimbar ketika beliau berkhutbah.
  9. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada jama’ah untuk tidak mendengar khutbah.
  10. Diperbolehkan bagi kaum muslimin, jika ‘ied jatuh pada hari Jum’at untuk mencukupkan diri dengan shalat ‘ied saja dan tidak menghadiri shalat Jum’at.
  11. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melalui jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang (dari shalat) ‘ied. (Risalah Syaikh Muhammad Ibn Jaarullah Al Jaarullah & Zadul Ma’ad Ibnul Qayyim)
Kemungkaran yang Biasa Dilakukan Ketika ‘Idul Fitri
  1. Tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir dalam berpakaian dan mendengarkan musik/nyanyian (kecuali rebana yang dimainkan oleh wanita yang masih kecil). Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, sanadnya hasan). Nabishallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda: “Akan datang sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan (padahal hukumnya haram) perzinaan, pakaian sutra bagi laki-laki, khomr (sesuatu yang memabukkan), dan alat musik…” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan Imam Nawawi berkata bahwa hadits ini shohih dan bersambung sesuai syarat shohih)
  2. Wanita berdandan ketika luar rumah. Padahal seperti ini diharamkan di dalam agama ini, berdasarkan firman Allah yang artinya: “Dan hendaklah kamu (wanita muslimah) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu, dan dirikanlah sholat serta tunaikanlah…” (QS. Al Ahzab [33] : 33)
  3. Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom. Fenomena ini merupakan musibah di tengah kaum muslimin apalagi di hari raya. Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirahmati Allah. Perbuatan ini adalah haram berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam“Sungguh, seandainya kepala kalian ditusuk dengan jarum dari besi, lebih baik daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal dia sentuh.” (LihatSilsilah Al Ahadits As Shohihah 226 & Ahkamul Iedain 34)
  4. Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya ‘ied. Padahal tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan perintah Allah ataupun tuntunan Nabi untuk ziarah ke kubur pada saat tersebut.
  5. Kebanyakan manusia meninggalkan shalat lima waktu karena sibuk bersilaturahmi dan kaum pria juga meninggalkan shalat berjama’ah di masjid tanpa alasan yang dibenarkan oleh agama. Demi Allah, sesungguhnya ini adalah salah satu bencana yang amat besar.
  6. Begadang saat malam ‘Idul Fitri untuk takbiran hingga pagi sehingga kadang tidak mengerjakan shalat ‘ied di pagi harinya. Takbiran yang dilakukan juga sering mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat padahal hukum mengganggu sesama muslim adalah haram. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Muslim (yang baik) adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.” (HR. Muslim)
Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal & Ari Wahyudi

By Badroe with No comments

 
google.com, pub-0086328622447233, DIRECT, f08c47fec0942fa0