Niat Sholat

Niat secara bahasa artinya kehendak, rencana dan tujuan atas sesuatu. Dalam istilah para ulama, niat dimaksudkan untuk dua pengertian : Pertama, Niat dalam pengertian kehendak hati yang membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, seperti membedakan shalat wajib dzuhur dari shalat wajib Ashar atau yang membedakan shaum Ramadhan dengan shaum Nadzar. Kedua, niyat dalam pengertian sesuatu yang menjadi dasar dorongan dan harapan atau motivasi suatu amal perbuatan. Yaitu apakah sesuatu pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar mengharap keridhaan dan pahala Allah SWT atau karena mengharap pujian dari manusia. Dalam Alquran disebutkan kandungan dari niyat itu, yaitu ”keinginan, harapan, dan kehendak.” Iraadah, ibtighaa, dan rajaa. Seperti dalam Firman Allah :
”Barangsiapa yang menginginkan keuntungan (pahala) akhirat, kami akan tambahkan keuntungannya, dan barang siapa yang menginginkan keuntungan dunia saja, Kami akan berikan sebagian darinya dan baginya tidak ada bagian keuntungan di akhirat sedikit pun”. (Q.S As-Syura : 20)
”Dan perumpamaan orang-orang yang menginfakkan harta mereka dengan mengharap keridhaan Allah…” (Q.S Al-Baqarah : 265)
”Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah ia beramal dengan amal saleh dan jangan menyekutukanNya dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepadaNya”. (Al-Kahfi : 110)
Dalam Al-Hadits tentang niyat nabi SAW dengan tegas bersabda :
”Dari Umar Ibn Khaththab ’aku mendengar Rasulullah SAW bersabda” Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya dan bagi tiap orang apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrah kepada Allah dan RasulNya , maka pahalanya karena Allah dan rasulNya. Dan barangsiapa yang hijrah karena dunia atau wanita yang dinikahinya, maka pahala hijrahnya itu apa yang di hijrahi”. (H.R Al-Bukhari, Shahih Muslim (3530)
Mengenai pengucapan niat tidak ada satupun keterangan dari Al-Quran maupun Al-hadits. Niat itu urusan hati tidak terkait dengan lisan atau ucapan. Walaupun seseorang mengucapkan niat dengan mengatakan ia mengamalkan sesuatu karena Allah, tetap saja yang jadi penilaian Allah adalah apa yang ada di hatinya. Sebagaimana dalam Hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
”Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad dan rupa kalian melainkan melihat hati kalian”
Yang dinilai Allah adalah hati karena hati merupakan tempat ditanamnya niat dalam suatu amal. Benarnya amal lisan dan perbuatan badan belum dapat menjamin benarnya niat yang merupakan amalan hati. Sebaliknya apa yang telah diniatkan secara benar dalam hati kemudian terjadi kekeliruan dalam ucapan dan perbuatan, maka kesalahan itu termasuk perkara yang dimaafkan. Oleh karena itu tidak ada syariat untuk mengucapkan niat. (Risalah No. 6 Th. 46 Ramadhan 1429 / September 2008)
Menurut A.Hassan kalau seseorang mengerjakan sesuatu perkara dengan sengaja, maupun perkara ibadat atau yang lainnya, maka dinamakan dia orang yang telah berniat. Seorang yang dalam keadaan tidur, kalau menampar atau menendang sesuatu, maka ia tidak dikatakan berniat waktu mengerjakannya. Kalau seorang memecahkan sesuatu atau menikam seseorang lantaran latah, maka kita namakan orang itu tidak sengaja atau tidak berniat. Dengan contoh diatas nyatalah bahwa niat itu adalah sengaja
Masalah ini sudah terlalu banyak orang-orang bicarakan dimana-mana. Maka disini kami hendak memberi jawaban yang umum dan terang, supaya pembaca dapat gunakan kaidah itu dimana-mana masalah yang duduknya sama dengan masalah melafazkan niat.
Yang dikatakan Agama itu ialah beberapa perintah Allah dan perintah Rasul, dan beberapa larangan Allah dan larangan Rasul. Perintah-perintah itu ada dua macam: pertama, perintah yang berhubungan dengan hal keduniaan, kedua, perintah-perintah yang berhubungan dengan hal ibadat.
Perintah-peritah keduniaan itu, mesti kita kerjakan, tetapi cara-caranya tidak mesti sama dengan perbuatan Nabi, seperti perang umpamanya, Nabi kita lakukan dengan pedang dan panah, maka tidak ada halangan kita kerjakan dengan senapan dan meriam, karena yang diperitah dan yang dimaksudkan itu perangnya bukan caranya.
Adapun perintah-perintah yang berhubungan dengan hal ibadat itu wajib kita kerjakan menurut sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi saw tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Karena perkara ibadat itu tak dapat diatur-atur dan dipikir-pikir oleh manusia.
Misalnya dapatkah kita pikirkan dengan jelas mengapa kita diperintah tayamum waktu tidak ada air, dan mengapa di waktu subuh diwajibkan dua rakaat saja, sedang dzuhur empat rakaat padahal waktu subuh yang lebih lapang?
Kedua tiap-tiap perkara dunia pada asalnya harus, yaitu boleh kita kerjakan boleh tidak, melainkan yang  diwajibkan oleh agama, maka wajib kita kerjakan dan mana yang dilarang, tidak boleh kita kerjakan.
Ketiga, tidak boleh kita berbuat ibadah dengan kemauan dan cara kita sendiri. Tidak boleh dinamakan ibadat yang sebenarnya, kalau tidak diperintah oleh agama serta ditunjukan oleh Nabi.
Keempat berbuat bid’ah itu dilarang keras di dalam agama karena sabda nabi saw.
“Tiap-tiap bid’ah itu sesat, dan tiap-tiap kesesatan itu di neraka” H.R Muslim dan Nasai. Tetapi jangan salah faham tentang larangan bid’ah itu. Bid’ah itu dilarang di dalam urusan ibadat, bukan di dalam hal keduniaan karena sabda Nabi saw. “Kamu terlebih mengerti hal urusan dunia kamu”. (H.R Muslim).
Bahkan orang yang mengadakan bid’ah yang baik diperkara dunia dengan sabdanya 
“Barangsiapa adakan (atau mulakan) di dalam Islam satu cara (keduniaan) yang baik, maka ia dapat pahalanya dan (juga banyak) pahala orang-orang yang turut mengerjakannya dengan tidak kurang sedikit pun daripada pahala mereka itu” (H.R Muslim).
Kelima tidak boleh kita katakan perkara itu wajib atau sunnat dan perkara ini haram atau makruh, kalau tidak ada keterangan dari Agama, karena wajib atau sunnat itu artinya perkara dapat pahala dan haram itu perkara yang tidak disukai oleh Allah. Maka bagaimanakah bisa seseorang mengetahui hal yang gaib itu kalau tidak diterangkan oleh Agama?
Keenam di dalam Agama dibenarkan qias tetapi hanya dalam hukum-hukum keduniaan saja tidak sekali-kali pada hukum-hukum ibadat. Tidak pernah seorangpun dari sahabat-sahabat Nabi mengambil qias dalam ibadat dan tidak pula imam-imam mujtahidin, bahkan telah berkata imam Syafi’I “tidak ada qias di hukum ibadat” dan “Barangsiapa menganggap baik satu ibadat, berarti ia telah membikin Agama”. Kata Imam Ar-Ruyani “Dan barang siapa membikin Agama, kufurlah dia”. Maksudnya bahwa apabila seseorang menganggap baik akan satu perkara ibadat dengan tidak ada keterangan dari Agama, maka bearti orang itu menambah satu ibadat, maka barang siapa menambah satu ibadat tidak dipungkiri lagi ia jadi kafir.
Ketujuh, kita wajib menerima ijma, tetapi supaya tidak jadi salah faham, perlu kita dapat tahu ijma manakah yang wajib kita turut. Ijma uang wajib kita turut itu tidak lain melainkan ijma sahabat Nabi. Turut ijma itu tidak berarti kita turut hukum yang mereka bikin dengan kemauan mereka sendiri, tetapi berarti kita turut kerjakan salah satu ibadat atau hukum yang mereka ramai-ramai telah setuju mengerjakannya, dengan kepercayaan kita bahwa mustahil mereka bersetuju mengerjakan sesuatu kalau tidak mereka lihat Nabi saw kerjakan dihadapan mereka.
Oleh sebab itu Nabi kita telah bersabda “Hendaklah kamu berpegang kepada cara-caraku dan cara-cara khalifah-khalifah yang lurus tepimpin” (H.R Abu Dawud). Adapun ijma yang lain daripada itu tidak boleh kita turut dan juga tidak ada. Lantaran itu berkata Imam Ahmad bin Hanbal “Barangsiapa mengaku ada ijma, maka orang itu pendusta”.
Sesudah ada beberapa kaidah yang tersebut di atas itu, tentulah mudah kita memaham suatu hukum.
Melafazkan niat waktu berwudu, mandi atau sembahyang itu tidak ada di quran , hadis, perbuatan sahabat Nabi dan tidak pula dipandang sunat oleh Imam yang empat, istimewa pula ijma tidak ada sama sekali.

Hanya ada sebagian daripada ulama madzhab syafi’I (bukan Imam syafi’i) menyunatkannya, dan golongan itu terbagi atas beberapa bagian pula :
1. Ada yang berkata bahwa menyebut niat dengan lidah itu menolong hati, lantaran itu jadi sunat.
Kita jawab, bahwa alasan itu bukan dari agama dan tidak dibenarkan oleh agama, karena dengan alasan itu telah bertambah satu ibadah, sedang menambah satu ibadat itu terlarang keras, dan juga perkataan mereka bahwa lidah menolong hati itu tidak betul sekali-kali, karena lidah orang yang sadar itu tidak akan menyembunyikan sesuatu, kalau tidak hatinya lebih dahulu hendak menyembunyikannya. Jadi hatilah yang menggerakan lidah, bukan lidah menggerakan hati.
2. Ada yang berkata bahwa menyebut niat dengan lidah itu ada dikerjakan oleh Nabi di dalam ibadat Hajji. Oleh sebab itu diqiaskan perbuatan itu disembahyang dan lainnya.
Kita jawab, bahwa riwayat Nabi menyebut niat haji itu tidak sah, walaupun ditakdirkan sah, tidak boleh diqiaskan kepada sembahyang, karena haji itu diwajibkan atas orang Islam sesudah sembahyang. Maka tidak ada kaidah membenarkan ambil qias dari hukum terkemudian buat hukum yang terdahulu dan lagi tidak boleh diqiaskan satu hukum dengan lainnya di dalam urusan ibadat. Kalau mau diqias-qiaskan di perkara ibadat, mengapakah tidak diadakan adzan dan iqamah di salat jenazah, salat hari raya, salat tarawih dan yang lainnya?
3. Adapun yang berkata bahwa melafazkan niat itu sungguhun bid’ah tetapi bid’ah hasanah, karena perkara itu baik dan Nabi tidak ada bersabda “jangan kamu melafazkan niat”
Kita jawab, bahwa tiap-tiap bid’ah dalam suatu ibadat itu bid’ah dalalah, tidak ada hasanah. Bid’ah yang dibagi-bagi itu ialah bid’ah dalam hal keduniaan, yaitu mana yang baik dikatakan bid’ah hasanah dan mana yang tidak baik dikatakan bid’ah dhalalah. Kalau tambahan itu dipandang baik, mengapakah salat yang subuh tidak boleh kita tambah dua rakaat supaya jadi empat?

Apakah dua rakaat tambahan itu tidak baik, atau adakah pernah Nabi berkata “jangan kamu sembahyang subuh empat rakaat?. Mengapakah bacaan attahiyat yang bukan dari quran itu tidak diganti dengan bacaan quran saja?.Ringkasnya, kita orang Islam wajib sembahyang sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi, padahal Nabi tidak melafazkan niat dengan mulutnya, maka janganlah kita berbuat apa-apa ibadat yang tidak diperbuat olehnya.
Dalam semua amal kita memang diperintah berniat “niat” yang dimaksudkan dalam hadis Nabi saw ialah ketentuan kita mengerjakan sesuatu itu karena Allah atau bukan jarena Allah. Inilah sebenarnya yang dikatakan niat dalam bahasa Arab, ini adalah dalam bathin
Adapun perkataan “niat hamba…”yang di sebutkan di atas itu ialah ucapan atau pemberitahuan, bukan niat. Boleh juga disimpulkan demikian : niat itu ialah kemauan kita dalam keadaan sadar.
Ucapan atau pemberitahuan tersebut sama sekali tidak ada perintah atau kebenarannya dalam agama. Tiap-tiap yang tidak ada perintah, contoh atau kebenaranmya dari agama seharusnya kita jauhi. (Pengajaran Shalat CV Diponegoro, 2007)
Pendapat sebagian pengikut madzhab Syafi’iy tentang melafazhkan niat dengan dalil ”janganlah salah seorang diantara kamu memulai shalat kecuali dengan dzikir”. Menurut Imam An-Nawawi berkata ”bahwa yang dimaksud dengan dzikir disini adalah takbir”. (Al-majmu’ (243))

Ibnul Qayyim berkata ”adalah Rasulullah SAW jika mendirikan shalat ia mengucapkan ’Allahu Akbar’, tidak mengucapkan apapun sebelumnya, dan sama sekali tidak melafazhkan niat, tidak juga mengucapkan ’Ushalli lillahi shalata….Mustaqbila Al-qiblati arba’a raka’atin imaman atau ma’muman, tidak juga mengatakan ’adaan’, atau qadhaa’an’, tidak juga menentukan waktu. Ini semua adalah bid’ah yang tidak seorangpun meriwayatkannya dari nabi Saw dengan sanad yang shahih, atau dhaif, atau musnad, atau mursal, satu lafazhpun sama sekali tidak pernah. Bahkan tidak pernah diriwayatkan dari sahabat, tidak pernah dianggap baik oleh seorang tabi’in, tidak juga oleh imam yang empat”. (Zaadu al-Ma’ad (1/201)


Kesimpulan
  1. Melafazhkan niat hendak shalat tidak disyari’atkan karena Nabi Bersabda : ”Jika engkau hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat, kemudian takbirlah, kemudian bacalah…”.( H.R Bukhari (1/145, 2/172), Muslim (2/11), dan Abu daud (856), Tirmidzi (2/103), Ibnu majah (1060), dari Abu Hurairah)
  2. Niat itu ialah kemauan kita dalam keadaan sadar dan tempatnya dalam hati.

By Badroe with No comments

WUKUF BUKAN MUQADDAMAH WUJUD


Oleh: Ibnu Muchtar
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Idul Adha ditetapkan berdasarkan waktu wukuf di Arafah. Dengan perkataan lain wukuf itu sebagai standar penetapan Iedul Adha. Istinbath ini ditetapkan berdasarkan sabda Nabi saw. tentang shaum ‘Arafah dalam hadis Abu Qatadah al-Anshari:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Berdasarkan penamaan shaum ini dengan “shaumu yaumi ‘arafah” maka dipahami bahwa shaum Arafah itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah. Karena Idul Adha didahului oleh shaum hari Arafah, maka Idul Adha pun ditetapkan berdasarkan wukuf di Arafah itu.
Hemat kami, istinbath demikian tidak tepat dilihat dari beberapa aspek:
1. Latar belakang penamaan Arafah
Ibnu Abidin menjelaskan:
عَرَفَةُ إِسْمُ اليَوْمِ وَعَرَفَاتُ إِسْمُ المَكَانِ
“Arafah adalah ismul yaum (nama hari) dan Arafaat adalah ismul makan (nama tempat)” Hasyiah Raddil Mukhtar, II:192
Menurut Imam ar-Raghib, al-Baghawi, dan al-Kirmani Arafah adalah
إِسْمٌ لِلْيَوْمِ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الحِجَّةِ
Nama hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah.
Hari tersebut dinamakan Arafah berkaitan dengan peristiwa mimpinya Nabi Ibrahim yang diperintah untuk menyembelih anaknya. Pada pagi harinya
فَعَرَفَ أَنَّهُ مِنَ اللهِ فَسُمِّيَ يَوْمَ عَرَفَةَ
“Maka ia mengenal/mengetahui bahwa mimpi itu benar-benar (datang) dari Allah. Maka (hari itu) dinamakan hari Arafah”. Lihat, al-Mughni, III:58
Menurut Imam al-‘Aini dan ar-Raghib Arafat adalah
عَلَمٌ لِهذَا المَكَانِ المَخْصُوصِ
Nama bagi tempat yang khusus ini. (Lihat, Umdatul Qari, I:263; dalam redaksi ar-Raghib: buq’ah makhshushah[tanah/daerah yang khusus] Lihat, al-Mufradat fi Gharibil Quran, hal. 969)
Adapun tempat tersebut dinamakan Arafah berkaitan dengan peristiwa ta’arufnya antara Nabi Adam dan Hawa ditempat itu, sebagaimana dijelaskan Ibnu Abas
وَتَعَارَفَا بِعَرَفَاتِ فَلِذلِكَ سُمِّيَتْ عَرَفَاتِ
Dan keduanya ta’aruf di Arafat, karena itu dinamai ‘Arafat. (Lihat, al-Kamil fit Tarikh, I:12). Keterangan Ibnu Abas itu dijadikan pinjakan oleh para ulama, antara lain Yaqut bin Abdullah al-Hamuwi dalam Mu’jam al-Buldan (IV:104), Ahmad bin Yahya bin al-Murtadha, dalam at-Taj al-Madzhab li Ahkam al-Madzhab, (II:89); ar-Raghib al-Ashfahani dalam al-Mufradat fi Gharibil Quran (hal. 969).
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa
(a)     Penamaan Arafah, baik sebagai ismul yaum maupun ismul makan, sudah digunakan sebelum disyariatkan ibadah haji.
(b)     Penamaan Arafah bukan karena fi’lun (wukuf dalam ibadah haji). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam ibadah haji) bukan muqaddamah wujud penamaan Arafah.
2. Latar belakang penamaan Shaum dengan Arafah
Nabi menyatakan:
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ
Kalimat Yaum Arafah disebut idhafah bayaniyyah, yakni bayan zamani (keterangan waktu), bukan idhafah makaniyyah, apalagi idhafah fi’liyyah. Berdasarkan latar belakang penamaan di atas maka struktur kalimat Shaum Yaum Arafah harus dipahami “Shaum pada hari ke-9 bulan Dzulhijjah yang disebut hari Arafah” Dengan demikian, penyandaran kata shaum pada kalimat Yaum ‘Arafah untuk menunjukkan bahwa Yaum Arafah (hari ke-9) itu sebagai muqaddamah wujud, yaitu syarat sahnya shaum tersebut. Dengan perkataan lain, shaum itu terikat oleh miqat zamani (ketentuan waktu). Apabila struktur kalimat Shaum Yaum Arafah akan dipahami bahwa “shaum itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah”, maka harus disertakan qarinah (keterangan pendukung), karena cara pemahaman seperti ini khilaful qiyas (menyalahi kaidah), dalam hal ini kaidah tentang idhafah bayan zamani, juga dalil-dalil tentang shaum itu.  Karena dalam berbagai hadis untuk shaum ini digunakan beberapa sebutan, yaitu:
(a)     Tis’a Dzilhijjah (9 Dzulhijjah)
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ r  قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ r يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ– رواه أبو داود وأحمد والبيهقي -
Dari sebagian istri Nabi saw., ia berkata, “Rasulullah saw. shaum tis’a Dzilhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan” H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz VI:418, No. 2081; Ahmad, Musnad Ahmad, 45:311, No. 21302, 53:424. No. 25263, dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:285, Syu’abul Iman, VIII:268
Dalam hadis ini disebut dengan lafal Tis’a Dzilhijjah, yang berarti tanggal 9 Dzulhijjah. Hadis ini memberikan batasan miqat zamani (ketentuan waktu pelaksanaan) shaum ini, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah.
(2)     Shaum al-‘Asyru
عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ : أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُولُ اللهِ e  : صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَ العَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلغَدَاةِ – رواه أحمد و النسائي -
Dari Hafshah, ia berkata,” Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. : shaum Asyura, shaum arafah, shaum tiga hari setiap bulan dan dua rakaat qabla subuh.”.H.r. Ahmad, al-Musnad, X : 167. No. 26521 dan an-Nasai, Sunan an-Nasai, II : 238
Kata al-‘Asyru secara umum menunjukkan jumlah 10 hari. Berdasarkan makna umum itu, maka dapat dipahami dari hadis tersebut bahwa Rasul tidak pernah meninggalkan shaum 10 hari bulan Dzulhijjah. Namun pemahaman itu jelas bertentangan dengan ketetapan Nabi sendiri yang melarang shaum pada hari Iedul Adha (10 Dzulhijjah) (Hr. An-Nasai,as-Sunan al-Kubra, II:150) serta penjelasan Aisyah “Aku sama sekali tidak pernah melihat Nabi shaum pada 10 (Dzulhijjah)” (H.r. Muslim)
Dengan demikian kata al-Asyru pada hadis ini sama maksudnya dengan Tis’a Dzilhijjah pada hadis di atas. Adapun penamaan shaum tanggal 9 Dzulhijjah dengan al-‘Asyru, karena hari pelaksanaan shaum tersebut termasuk pada hari-hari al-‘Asyru (10 hari pertama bulan Dzulhijjah) yang agung sebagaimana dinyatakan Rasul dalam hadis sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلعم  وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ – رواه الترمذي
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya ia berkata, ‘Rasulullah saw. Bersabda, ‘Tidak ada dalam hari-hari yang amal shalih padanya lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini. Para sahabat bertanya, ‘(apakah) jihad fi Sabilillah juga tidak termasuk? Rasul menjawab, ‘Tidak, kecuali seseorang yang berkorban dengan jiwanya dan hartanya kemudian dia tidak mengharapkan apa-apa darinya.’ Hr. At-Tirmidzi, Tuhfah al-Ahwadzi, III: 463
Selain itu penamaan tersebut menunjukkan bahwa hari ‘Arafah itu hari yang paling agung di antara hari-hari yang sepuluh itu, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi saw.
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يَعْتِقَ اللهُ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ المَلاَئِكَةُ فَيَقُولُ : مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟ – رواه مسلم -
“Tiada hari yang Allah lebih  banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka melebihi hari Arafah, dan bahwa Ia dekat. Kemudian malaikat merasa bangga  dengan mereka, mereka (malaikat) berkata, ‘Duhai apakah gerangan yang diinginkan mereka?’.” (Lihat, Shahih Muslim, I : 472)
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa
(a)     Penamaan Shaum itu dengan yaum Arafah, Tis’a Dzilhijjah, dan al-Asyru menunjukkan bahwa pelaksanaan shaum tersebut terikat oleh miqat zamani (tanggal 9 Dzulhijjah)
(b)     Penamaan shaum Arafah bukan karena fi’lun (wukuf dalam ibadah haji). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam ibadah haji) bukan muqaddamah wujud disyariatkannya shaum Arafah. Karena itu, penamaan tersebut tidak dapat dijadikan dalil  bahwa waktu shaum itu harus bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah.
Untuk lebih mempertegas bahwa waktu shaum itu tidak disyaratkan harus bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, maka kita kaji berdasarkan Tarikh Tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha.
3. Tarikh Tasyri Shaum Arafah dan Iedul Adha
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah saw. datang ke Madinah, dan mereka mempunyai dua hari yang mereka bermain-main pada keduanya pada masa jahiliyyah. Maka beliau bersabda, ‘Sungguh Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Adha dan Hari Fitri’.” H.r. Ahmad, Musnad Ahmad, XXIV:114, No. 11568; Abu Daud, Sunan Abu Daud, III:353, No. 959. Dan redaksi di atas versi Ahmad.
Sehubungan dengan hadis itu para ulama menerangkan bahwa Ied yang pertama disyariatkan adalah Iedul Fitri, kemudian Iedul Adha. Keduanya disyariatkan pada tahun ke-2 hijrah. (Lihat, Shubhul A’sya, II:444; Bulughul Amani, juz VI:119; Subulus Salam, I:60)
Dalam hal ini para ulama menerangkan:
وَإِنَّمَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عِيدًا لِجَمِيعِ هَذِهِ الْأُمَّةِ إشَارَةً لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ قَبْلَهُ كَمَا أَنَّ يَوْمَ النَّحْرِ هُوَ الْعِيدُ الْأَكْبَرُ لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ قَبْلَهُ إذْ لَا يَوْمَ يُرَى أَكْثَرُ عِتْقًا مِنْهُ
“Yaum fitri dari Ramadhan (ditetapkan) sebagai ied bagi semua umat ini tiada lain sebagai isyarat karena banyaknya pembebasan (dari neraka), sebagaimana hari Nahar, yang dia itu ied akbar, karena banyaknya pembebasan (dari nereka) pada hari Arafah sebelum Iedul Adha. Karena tidak ada hari yang dipandang lebih banyak pembebasan daripada hari itu (Arafah)” (Lihat, Hasyiah al-Jumal, VI:203; Hasyiah al-Bajirumi ‘alal Manhaj, IV:235)
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Shaum Arafah mulai syariatkan bersamaan dengan Iedul Adha,  yaitu tahun ke-2 hijriah. Keduanya disyariatkan setelah syariatkannya Shaum Ramadhan dan Iedul Fitri pada tahun yang sama.
Adapun ibadah haji (termasuk di dalamnya  wukuf di Arafah) mulai disyariatkan pada tahun ke-6 hijriah sebagaimana dinyatakan oleh Jumhur ulama (lihat, Fathul Bari, III:442). Namun menurut Ibnu Qayyim disyariatkan tahun ke-9/ke-10 Hijriah. (lihat, Zaadul Ma’ad, II:101, Manarul Qari, III:64)
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa
(a)     Waktu tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha lebih dahulu daripada tasyri’ wukuf di Arafah.
(b)     Wukuf di Arafah bukan muqaddamah wujud shaum Arafah dan Iedul Adha.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan “Istinbat bahwa waktu shaum Arafah dan Iedul Adha harus berdasarkan standard pelaksanaan wukuf di Arafah” tidak berdasarkan dalil dan thuruqul istinbath yang jelas.

Sumber : Rendy 

By Badroe with No comments

Puasa ‘Arafah

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ، وَ السَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ

“Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang”.[1]
An-Nawawiy rahimahullah berkata :

قوله صلى الله عليه وسلم: “صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده” معناه يكفر ذنوب صائمه في السنتين، قالوا: والمراد بها الصغائر،

“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ‘Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang’ ; maknanya adalah menghapuskan dosa-dosa bagi orang yang berpuasa pada hari itu selama dua tahun. Mereka (para ulama) berkata : Maksudnya adalah menghapus dosa-dosa kecil” [Syarh Shahih Muslim, 8/50-51].

قوله صلى الله عليه وسلم في يوم عرفة ” يكفر السنة الماضية والمستقبلة ” قال الماوردى في الحاوى فيه تأويلان (أحدهما) ان الله تعالي يغفر له ذنوب سنتين (والثانى) ان الله تعالي يعصمه في هاتين السنتين فلا يعص فيهما وقال السرخسي أما السنة الاولي فتكفر ما جرى فيها قال واختلف العلماء في معنى تكفير السنة الباقية المستقبلة وقال بعضهم معناه إذا ارتكب فيها معصية جعل الله تعالي صوم يوم عرفة الماضي كفارة لها كما جعله مكفرا لما في السنة الماضية وقال بعضهم معناه ان الله تعالي يعصمه في السنة المستقبلة عن ارتكاب ما يحتاج فيه إلى كفارة

“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai hari ‘Arafah : ‘dapat menghapus dosa-dosa tahun lalu dan tahun yang akan datang’ ; berkata Al-Maawardiy dalam Al-Haawiy bahwasannya hadits ini mempunyai dua penafsiran. Pertama, Allah ta’ala mengampuni dosa-dosanya selama dua tahun; Kedua, Allah ta’ala menjaganya untuk tidak berbuat dosa selama dua tahun. As-Sarkhaasiy berkata : ‘Adapun tahun pertama, maka dosa-dosanya akan diampuni’. Ia melanjutkan : ‘Para ulama berbeda pendapat mengenai makna penghapusan dosa di tahun selanjutnya (tahun depan). Sebagian mereka mengatakan, maknanya adalah bila seseorang melakukan maksiat pada tahun itu, Allah ta’ala akan menjadikan puasa di hari ‘Arafah yang ia lakukan di tahun lalu sebagai penghapus, sebagaimana ia menjadi penghapus dosa di tahun sebelumnya. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa maknanya adalah Allah ta’ala menjaganya dari melakukan dosa di tahun depan” [Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, 6/381].
Ash-Shan’aniy rahimahullah berkata :

استشكال تكفير ما لم يقع، وهو ذنب السنة الآتية، وأجيب بأن المراد أنه يوفق فيها لعدم الإتيان بذنب؛ وسماه تكفيراً لمناسبة الماضية، أو أنه إن أوقع فيها ذنباً، وفق للإتيان بما يكفره.

“Sulit diterima penghapusan dosa yang belum terjadi, yaitu dosa tahun yang akan datang. Pendapat itu dibantah dengan alasan bahwa yang dimaksudkan adalah bahwa ia diberi taufiq pada tahun yang akan datang untuk tidak melakukan dosa. Hanya saja itu dinamai penghapusan untuk penyesuaian dengan istilah tahun lalu. Atau bahwa jika dia melakukan dosa tahun yang akan datang, maka ia diveri taufiq untuk melakukan sesuatu yang akan menghapuskannya” [Subulus-Salaam, 2/461].
Mengenai jenis dosa yang dihapuskan Allah ta’ala dari amalan puasa ‘Arafah, An-Nawawiy rahimahullah berkata :

قلت وفى معنى هذه الاحاديث تأويلان (أحدهما) يكفر الصغائر بشرط أن لا يكون هناك كبائر فان كانت كبائر لم يكفر شيئا لا الكبائر لا الكبائر ولا الصغائر (والثانى) وهو الاصح المختار انه يكفر كل الذنوب الصغائر وتقديره يغفر ذنوبه كلها إلا الكبائر قال القاضى عياض رحمه الله هذا المذكور في الاحاديث من غفران الصغائر دون الكبائر هو مذهب أهل السنة وان الكبائر إنما تكفرها التوبة أو رحمة الله تعالي

“Aku katakan : hadits-hadits ini mempunyai dua penafsiran : Pertama, menghapus dosa-dosa kecil dengan syarat ia tidak melakukan dosa besar. Jika ada dosa besar, maka tidak akan menghapus apapun, baik dosa besar ataupun dosa kecil. Kedua, – dan ini adalah pendapat yang lebih shahih/benar lagi terpilih – ia menghapus setiap dosa kecil. Jadi pengetiannya adalah (Allah) mengampuni semua dosanya, kecuali dosa besar. Telah berkata Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullahu ta’ala : ‘Apa yang disebutkan dalam hadits-hadits ini berbicara tentang pengampunan terhadap dosa-dosa kecil, selain dosa besar. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah, karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat atau rahmat Allah ta’ala” [Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, 6/382].
Disunnahkannya puasa ‘Arafah ini khusus bagi mereka yang tidak sedang melakukan wuquf di ‘Arafah. Adapun yang sedang wuquf di ‘Arafah, maka tidak disunnahkan.

عن أبي نجيح قال سئل بن عمر عن صوم يوم عرفة بعرفة فقال : حججت مع النبي صلى الله عليه وسلم فلم يصمه ومع أبي بكر فلم يصمه ومع عمر فلم يصمه ومع عثمان فلم يصمه وأنا لا أصومه ولا آمر به ولا أنهى عنه

Dari Abu Najiih ia berkata : Ibnu ‘Umar pernah ditanya tentang puasa ‘Arafah, lalu ia menjawab : “Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak berpuasa, bersama Abu Bakar dan ia tidak berpuasa, bersama ‘Umar dan ia tidak berpuasa, juga bersama ‘Utsmaan dan ia tidak berpuasa. Adapun aku tidak berpuasa, tidak memerintahkannya, dan tidak pula melarangnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 751, Ahmad 2/47 & 50, Ad-Daarimiy no. 1772, Abu Ya’laa no. 5595, Ibnu Hibbaan no. 3604, dan Al-Baghawiy no. 1792; shahih].[2]

عن أم الفضل بنت الحارث : أَنَّ نَاساً تَمَارَوا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ بَعضُهُمْ : هُوَ صَائِمٌ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ : لَيْسَ بِصَائِمٍ. فَأَرْسَلَتُ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيْرِهِ فَشَرِبَهُ.

Dari Ummul-Fadhl binti Al-Haarits : Bahwasannya orang-orang berdebat di sisinya pada hari ‘Arafah tentang puasa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka berkata : “Beliau berpuasa”. Sebagian lain berkata : “Beliau tidak berpuasa”. Lalu aku (Ummul-Fadhl) mengirimkan pada beliau satu wadah yang berisi susu ketika beliau sedang wuquf di atas ontanya. Maka, beliau meminumnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 1988 dan Muslim no. 1123].

عن سَعِيدِ بْنِ جُبَيرٍ، قَالَ : أَتَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ بِعَرَفَةَ، وَهُوَ يَأْكُلُ رُمَّاناً، فَقَالَ : أَفْطَرَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِعَرَفَةَ، فَبَعَثَتْ إِلَيْهِ أَمُّ الْفَضلِ بِلَبَنٍ، فَشَرِبَهُ.

Dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata : “Aku mendatangi Ibnu ‘Abbaas di ‘Arafah yang waktu itu sedang makan buah delima. Lalu ia berkata : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuka di ‘Arafah. Ummul-Fadhl pernah mengirim susu, lalu beliau meminumnya” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 2828 dengan sanad shahih].
Inilah pendapat shahih dari jumhur ulama.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata :

وقد استحب أهل العلم صيام يوم عرفة إلا بعرفة

“Para ulama menyenangi puasa di hari ‘Arafah, kecuali jika berada di ‘Arafah (melaksanakan wuquf haji)” [Sunan At-Tirmidziy, 2/116].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :

واما  الحاج الحاضر في عرفة فقال الشافعي في المختصر والاصحاب يستحب له فطره لحديث أم الفضل وقال جماعة من أصحابنا يكره له صومه

“Adapun bagi orang yang melaksanakan haji di ‘Arafah, berkata Asy-Syafi’iy dan murid-muridnya dalam Al-Mukhtashar : ‘Disunnahkan baginya untuk berbuka berdasarkan hadits Ummul-Fadhl. Dan berkata sekelompok dari shahabat kami : Dimakruhkan baginya untuk berpuasa” [Al-Majmu’, 6/380].
Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya : “Apa hukum puasa di hari kesembilan bulan Dzulhijjah ?”. Maka beliaurahimahullah menjawab :

يوم التاسع سنة، يوم عرفة سنة لجميع الناس صيام يوم عرفة، سئل النبي عن يوم عرفة فقال عليه الصلاة والسلام: (يكفر الله به السنة التي قبله والسنة التي بعده) فيوم عرفة يسن صيامه للرجال والنساء إلا من كان في الحج فلا يصوم، من كان حاجاً فإنه يقوم يوم عرفة مفطراً هذه السنة، أما غير الحجاج فالسنة لهم أن يصوموا إذا تيسر ذلك.

“(Puasa di) hari kesembilan adalah sunnah. Hari ‘Arafah adalah sunnah bagi seluruh kaum muslimin untuk berpuasa di dalamnya. Nabi pernah ditanya mengenai hari ‘Arafah, maka beliau ‘alaihish-shalaatu was-salaammenjawab : ‘Allah mengampuni dengannya dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang’. Oleh karena itu, pada hari ‘Arafah disunnahkan untuk berpuasa bagi laki-laki dan wanita kecuali bagi mereka yang melaksaksanakan haji, maka ia tidak berpuasa. Barangsiapa yang melaksanakan haji, maka pada hari ‘Arafah itu ia berbuka pada tahun ini. Adapun selain orang-orang yang berhaji, maka yang sunnah bagi mereka adalah berpuasa jika merasa ringan/mudah melaksanakannya” [sumber : http://www.ibnbaz.org.sa/mat/19016].
Namun ada keterangan dari beberapa orang salaf yang tetap berpuasa walaupun mereka berada di ‘Arafah melakukan wuquf.

عن هشام بن عروة ، عن أبيه ، قال : “مَا شَهِدَ أَبِي عَرَفَةَ قَطُّ إِلَّا وَهُوَ صَائِمٌ”

Dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, ia berkata : “Tidaklah aku menyaksikan ayahku (‘Urwah bin Zubair)di ‘Arafah, kecuali ia sedang berpuasa” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraiy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 1057; shahih].

عن القاسم بن محمد ، قال : ” رأيت عائشة عشية عرفة يدفع الإمام ، فتقف بعد حتى يقصى ما بينها وبين الناس من الأرض ، ثم تدعو بالشراب فتفطر “

Dari Al-Qaasim bin Muhammad, ia berkata : “Aku pernah melihat ‘Aisyah pada waktu sore di ‘Arafah meninggalkan (memisahkan diri dari) imam (rombongan haji). Ia berhenti sebentar hingga orang-orang jauh darinya, lalu minta dibawakan minuman dan mulai berbuka puasa” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraiy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 1059; shahih].
Hal itu sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah :

أكثر أهل العلم يستحبون الفطر يوم عرفة بعرفة ،وكانت عائشة وابن الزبير يصومانه، وقال قتادة : لا بأس به إذا لم يضعف عن الدعاء، وقال عطاء :أصوم في الشتاء ولا أصوم في الصيف، لأن كراهة صومه إنما هي معللة بالضعف عن الدعاء فإذا قوي عليه أو كان في الشتاء لم يضعف فتزول الكراهة

“Kebanyakan ulama menyenangi berbuka pada hari ‘Arafah ketika berada di ‘Arafah. Adalah ‘Aisyah dan Ibnu Zubair tetap berpuasa (saat di ‘Arafah). Qataadah berkata : ‘Tidak mengapa dengannya jika tidak menyebabkan lemah untuk berdoa’. ‘Athaa’ berkata : ‘Aku berpuasa saat musim dingin, dan aku tidak berpuasa saat musim panas’. Kemakruhan berpuasa di waktu itu dikarenakan akan menyebabkan kelemahan untuk berdoa. Namun bila ia kuat melaksanakannya atau saat berada di musim dingin sehingga tidak membuat lemah, maka kemakruhan itu pun hilang” [Al-Mughniy, 3/58].
Puasa ‘Arafah Menurut Negeri Masing-Masing atau Menurut Saudi ?
Permasalahan ini menjadi khilaf di kalangan ulama’. Sebagian ulama memahami bahwa ibadah ini (dan juga‘Iedul-Adlha)[3] tergantung pada sebab terlihatnya bulan Dzulhijjah, sebagaimana hal yang sama untuk permulaan Ramadlan dan Syawal. Sementara itu ulama lain berpendapat bahwa ibadah ini mengikuti ibadah haji di tanah Haram yang merupakan bentuk solidaritas para hujjaj. Dan dalam hal ini, kami mengikuti tarjih ulama pada pendapat kedua. Hal itu didasari oleh beberapa alasan berikut :
1. Telah berlalu penjelasan bahwasannya puasa ‘Arafah disunnahkan hanya bagi mereka yang tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Ini mengandung pengertian bahwa puasa ‘Arafah ini terkait dengan pelaksanaan ibadah haji/wuquf. Jika para hujjaj telah wuquf, maka pada waktu itulah disyari’atkannya melaksanakan puasa ‘Arafah bagi mereka yang tidak melaksanakan haji.
2. Dalam nash-nash tidak pernah disebutkan puasa di hari kesembilan, namun hanya disebutkan puasa ‘Arafah. Berbeda halnya dengan puasa ‘Aasyuura yang disebutkan tanggalnya secara spesifik :

عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما يقول: حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه، قالوا: يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “فإذا كان العام المقبل إن شاء الله، صمنا اليوم التاسع. قال: فلم يأت العام المقبل، حتى توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ;anhumaa, ia berkata : “Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamberpuasa di hari ‘Aasyuuraa dan memerintahkannya, para shahabat berkata : ‘Sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tahun depan, insya Allah, kita akan berpuasa di hari kesembilan”. Ibnu ‘Abbas berkata : “Sebelum tiba tahun depan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah wafat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1134].

عن ابن عباس يقول في يوم عاشوراء خالفوا اليهود وصوموا التاسع والعاشر

Dari Ibnu ‘Abbaas ia berkata tentang (puasa) hari ‘Aasyuuraa’ : “Selisihilah orang-orang Yahudi dan berpuasalah di hari kesembilan dan kesepuluh” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7839 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa4/287; shahih].
Adapun perintah berpuasa ‘Arafah adalah :

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ، وَ السَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ

“Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang”
Jadi jelas perbedaannya bahwa puasa ‘Arafah tidak tergantung pada urutan hari dalam bulan Dzulhijjah, namun pada pelaksanaan wuquf di ‘Arafah.
3. Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

فطركم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون

“Berbuka kalian adalah hari kalian berbuka dan penyembelihan kalian adalah hari kalian menyembelih”[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2324, Al-Baihaqiy 1/251, Ad-Daaruquthniy 2/163; shahih. Lihat Shahiihul-Jaami’no. 4225].

فطركم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون وعرفة يوم تعرفون

“Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka, penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm1/230 dan Al-Baihaqiy 5/176; shahih dari ‘Athaa’ secara mursal. Lihat Shahiihul-Jaami’ no. 4224].

يوم عرفة ويوم النحر وأيام التشريق عيدنا أهل الإسلام وهي أيام أكل وشرب

“Hari ‘Arafah, hari penyembelihan (‘Iedul-Adlhaa), dan hari-hari tasyriiq adalah hari raya kita orang-orang Islam. Ia adalah hari-hari makan dan minum” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2419 dan At-Tirmidziy no. 773; shahih].
Makna ’ penyembelihan kalian adalah hari kalian menyembelih’ dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah’ adalah mengikuti dan menyesuaiakan pelaksanakaan hari menyembelih dan pelaksanaan wuquf orang-orang yang melaksanakan haji di Makkah.
An-Nawawiy rahimahullah berkata :

قَال أَصْحَابُنَا: وَليْسَ يَوْمُ الفِطْرِ أَوَّل شَوَّالٍ مُطْلقًا وَإِنَّمَا هُوَ اليَوْمُ الذِي يُفْطِرُ فِيهِ النَّاسُ بِدَليل الحَدِيثِ السَّابِقِ، وَكَذَلكَ يَوْمَ النَّحْرِ، وَكَذَا يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اليَوْمُ الذِي يَظْهَرُ للنَّاسِ أَنَّهُ يَوْمَ عَرَفَةَ، سَوَاءٌ كَانَ التَّاسِعَ أَوْ العَاشِرَ قَال الشَّافِعِيُّ فِي الأُمِّ عَقِبَ هَذَا الحَدِيثِ: فَبِهَذَا نَأْخُذُ

“Telah berkata shahabat-shahabat kami (fuqahaa’ Syafi’iyyah) : Tidaklah hari berbuka (‘Iedul-Fithri) itu (mempunyai pengertian) hari pertama bulan Syawal secara muthlaq. Ia adalah hari dimana orang-orang berbuka padanya dengan dalil hadits sebelumnya (yaitu : ‘Berbuka kalian di hari kalian berbuka’). Begitu pula dengan hari penyembelihan (Yaumun-Nahr/’Iedul-Adlhaa). Begitu pula dengan hari ‘Arafah, ia adalah hari yang nampak bagi orang-orang bahwasannya hari itu adalah hari ‘Arafah. Sama saja apakah itu hari kesembilan atau hari kesepuluh. Asy-Syaafi’iy berkata dalam Al-Umm saat berkomentar tentang hadits ini : Maka dengan inilah kami berpendapat…..” [Al-Majmu’’, 5/26].
Hari yang nampak sebagai hari ‘Arafah adalah hari ketika orang-orang yang melaksanakan ibdah haji wuquf di ‘Arafah.
4. Husain bin Al-Harts Al-Jadaliy pernah berkata :

أن أمير مكة خطب ثم قال : عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن ننسك للرؤية فإن لم نره وشهد شاهدا عدل نسكنا بشهادتهما ….

“Bahwasannya amir kota Makkah pernah berkhutbah, lalu berkata : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan kepada kami agar kami (mulai) menyembelih berdasarkan ru’yah. Jika kami tidak melihatnya, namun dua orang saksi ‘adil menyaksikan (hilal telah tampak), maka kami mulai menyembelih berdasarkan persaksian mereka berdua….” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2338; shahih].
Atsar di atas menunjukkan ru’yah hilal yang dianggap/dipakai untuk melaksanakan ibadah penyembelihan (dan semua hal yang terkait dengan haji) adalah ru’yah hilal penduduk Makkah, bukan yang lain. Dengan demikian, maka hadits tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu Amir Mekkah-lah yang menetapkan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wuquf di ‘Arafah, Thawaf Ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar Jumrah, dan seterusnya. Atau dengan kata lain, penguasa yang menguasai kota Mekkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan kurban (10 Dzulhijjah), dan rangkaian manasik haji lainnya. Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar (hari penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan keputusan Amir Mekkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah.[4]
Wallaahu a’lam.
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[Abul-Jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – http://abul-jauzaa.blogspot.com].


[1] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1162, ‘Abdurrazzaaq no. 7826 & 7831 & 7865, Ibnu Abi Syaibah 3/78, Ahmad 5/297 & 308 & 310-311, Abu Dawud no. 2425-2426, An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 2826, Ibnu Maajah no. 1730, Ibnu Khuzaimah no. 2087, Ibnu Hibbaan no. 3631-3632, Ath-Thahaawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/72 & 77 dan dalam Syarh Musykilil-Aatsaar no. 2967-2968, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/286 & 300, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 21/162, dan Al-Baghawiy no. 1789-1790, dari beberapa jalan dari Ghailaan bin Jariir, dari ‘Abdullah bin Ma’bad Az-Zimmaaniy, dari Abu Qatadah Al-Anshariy secara marfu’.
Sebagian orang ada yang melemahkan hadits ini dengan alasan bahwa ‘Abdullah bin Ma’bad tidak mendengar hadits dari Abu Qatadah radliyallaahu ‘anhu berdasarkan perkataan Al-Bukhariy rahimahullah :
لا نعرف سماعه ـ يعني عبد الله بن مَعْبَد ـ من أبي قَتَادَة
“Kami tidak mengetahui penyimakannya – yaitu ‘Abdullah bin Ma’bad – dari Abu Qataadah” [At-Taariikh Al-Kabiir, 3/68 & 5/198].
Ta’lil ini dijawab sebagai berikut :
a. Perkataan Al-Bukhariy di atas tidak secara sharih (jelas) meniadakan samaa’ ‘Abdullah bin Ma’bad dari Abu Qatadah. Hanya saja Al-Bukhariy mengatakan bahwa ia tidak mengetahui penyimakannya dari Abu Qatadah. Jika ia memastikan tidak adanya penyimakan, maka ia akan menggunakan lafadh : “Ia tidak mendengar darinya” atau “mursal” sebagaimana kebiasaan beliau dalam permasalahan ini. Adapun persyaratan Muslim dalam Shahih-nya adalah mu’asharah yang memungkinkan adanya pertemuan secara umum dari para perawi.
b. Ibnu Abi Haatim (1/260) dan Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal (6/152) saat mentarjih dua jalan sanad dari Ghailaan bin Jariir, mereka berdua tidak men-ta’lil adanya inqitha’ dan peniadaan samaa’ ‘Abdullah bin Ma’bad dari Abu Qatadah secara mutlak. Jika saja ini merupakan ‘illat, niscaya mereka menyebutkannya dan tidak men-tashhih-nya.
c. Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabiy rahimahumallah menguatkan kebersambungan sanad ‘Abdullah bin Ma’bad dari Abu Qatadah. Ibnu Hajar berkata :
عبد الله بن معبد الزماني البصري روى عن أبي قتادة وأبي هريرة وعبد الله بن عتبة بن مسعود وأرسل عن عمر وعنه قتادة وغيلان بن جرير وثابت البناني والحجاج بن عتاب العبدي
“’Abdullah bin Ma’bad Az-Zimmaaniy Al-Bashriy. Ia meriwayatkan dari Abu Qatadah, Abu Hurairah, dan ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’uud. Meriwayatkan secara mursal dari ‘Umar. Qatadah, Ghailaan bin Jariir, Tsaabit Al-Bunaaniy, dan Al-Hajjaaj bin ‘Attaab Al-‘Abdiy meriwayatkan darinya” [At-Tahziib, 6/36].
Di sini Ibnu Hajar hanya mengatakan mursal dalam riwayatnya dari ‘Umar, tidak pada Abu Qatadah, Abu Hurairah, dan ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’uud.
Adz-Dzahabiy berkata :
قال البخاري : لا يعرف له سماع من أبي قتادة،قلت ـ الذهبي ـ:لا يضره ذلك
“Al-Bukhariy berkata : ‘Tidak diketahui penyimakannya dari Abu Qatadah’. Aku – (yaitu Adz-Dzahabiy) – berkata : “Hal itu tidak memudlaratkannya” [Diiwaan Adl-Dlu’afaa’, hal. 229].
Orang yang melemahkan hadits ini juga berhujjah bahwa ‘Abdullah bin Ma’bad ini seorang yang dla’iif dimana sebagian ulama al-jarh wat-ta’diil memasukkannya dalam kitab Adl-Dlu’afaa’.
Dijawab :
Sudah menjadi satu hal yang ma’ruuf bahwa sebagian ulama al-jarh wat-ta’diil memasukkan beberapa perawi dalam kitab Adl-Dlu’afaa’ orang-orang yang diperbincangkan, baik yang itu bersifat tercela/merusak ataupun tidak. Contoh dalam permasalahan ini banyak. Salah satunya contohnya adalah Ibnu ‘Adiy telah memasukkan ‘Aliy bin Al-Madiniy dalam kitabnya Adl-Dlu’afaa’.
‘Abdullah bin Ma’baad dalam hadits tersebut mempunyai mutaba’ah dari Iyaas bin Harmalah.
Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid no. 194, Ahmad 5/296 & 304, An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa 3/220-321, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/283, serta Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 21/162 dari beberapa jalan dari Iyaas bin Harmalah, dari Abu Qataadah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
صوم عاشوراء يكفر السنة الماضية وصوم عرفة يكفر السنتين الماضية والمستقبلة
“Puasa ‘Aasyuuraa’ menghapuskan dosa tahun yang lalu dan puasa ‘Arafah menghapuskan dosa dua tahun, yaitu tahun yang lalu dan tahun depan”.
Sedangkan hadits Abu Qataadah mempunyai syawaahid dari beberapa orang shahabat, yaitu :
1. Sahl bin Sa’d radliyallaahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid no. 463, Ibnu Abi Syaibah 3/97, Abu Ya’laa no. 7548, Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir 6/179, dari Sahl bin Sa’d, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَةَ، غُفِرَ لَهُ سَنَتَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ
“Barangsiapa yang berpuasa di hari ‘Arafah, niscaya ia akan diampuni (dari dosa-dosanya) dua tahun berturut-turut”.
Sanad hadits ini jayyid. Al-Haitsamiy berkata : “Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa dan Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir.Rijaal Abu Ya’laa adalah rijaal shahiih” [Majma’uz-Zawaaid, 3/189].
2. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath (Majma’ul-Bahrain no. 1573) dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata :
سأل رجل عبد الله بن عمر عن صوم يوم عرفة فقال:” كنا ونحن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم يعدله بصوم سنتين”
“Ada seorang laki-laki bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Umar tentang puasa hari ‘Arafah. Maka ia berkata : ‘Kami dulu pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau menyamakannya dengan puasa selama dua tahun”.
Al-Haitsaimiy berkata : “Hadits tersebut hasan” [Majma’uz-Zawaaid, 3/190].
Ada beberapa hadits dari jalan lain yang dla’if.
Secara keseluruhan, hadits tersebut adalah shahih.
[2] Sebagian ulama menggunakan riwayat ini sebagai dalil dimakruhkannya puasa ‘Arafah. Ini tidak benar, karena dalam riwayat tersebut Ibnu ‘Umar menceritakan keadaannya saat berhaji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum. Tentu saja ini pembicaraan ini dalam konteks wuquf di ‘Arafah bagi orang yang berhaji.
[3] Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

أن الذبح بالمشاعر أصل، وبقية الأمصار تبع لمكة، ولهذا كان عيد النحر العيد الأكبر، ويوم النحر يوم الحج الأكبر…..‏

“Sesungguhnya menyembelih di masyaair adalah pokok, dan penyembelihan di tempat lain adalah mengikuti Makkah. Oleh karena itu hari raya penyembelihan (‘Iedul-Adlhaa) adalah hari raya yang besar. Hari penyembelihan adalah hari haji akbar…..” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 24/227].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :

ويكون تعجيل صلاة الأضحى بمقدار وصول الناس من المزدلفة إلى منى ورميهم وذبحهم -نص عليه أحمد في رواية حنبل- ؛ ليكون أهل الأمصار تبعاً للحاج في ذَلِكَ ؛ فإن رمي الحاج الجمرة بمنزلة صلاة العيد لأهل الأمصار

“Dan pelaksanaan shalat ‘Iedul-Adlhaa disesuaikan dengan sampainya orang-orang (yang melaksanakan ibadah haji) dari Muzdalifah menuju Mina, melempar jumrah mereka, dan penyembelihan mereka – hal ini dinyatakan oleh Ahmad dalam riwayat Hanbal – . Dan orang-orang yang ada di tempat lain, hendaknya mengikuti orang-orang yang berhaji dalam hal tersebut. Sesungguhnya waktu pelemparan jumrah oleh orang-orang yang melaksanakan haji di Muzdalifah, maka waktu itu adalah waktu pelaksanaan shalat ‘Ied bagi orang-orang yang ada di tempat lain” [Fathul-Baariy].
[4] Point ini saya mengambil faedah dari al-akh Abu Hannan di : http://salafyitb.wordpress.com/2007/01/24/al-imam-ibnu-utsaimin-shaum-arafah-tidak-mengikuti-saudi/ — komentar tanggl 22 Pebruari 2007.

By Badroe with No comments

 
google.com, pub-0086328622447233, DIRECT, f08c47fec0942fa0